Tag Archives: Popper

Falsifikasi Popper

Berawal dari kegundahan Sir Karl Raimund Popper di Summer 19191 terhadap tiga teori yaitu Marxist theory of history, Psycho-Analysis, and Individual Psychology. Popper mempertanyakan ketiga teori tersebut mengapa berbeda dari teori-teori ilmu fisika, theori Newton khususnya teori relativitas. Menurut Popper, masalah pokok dari philosophy of science adalah demarkasi antara istilah science dan non science2. Dalam hal ini, Popper berpendapat bahwa ketiga teori tersebut, meskipun termasuk science, namun pada kenyataannya lebih cenderung ke mitos primitif dari pada science.

Dalam hal ini, Popper membedakan antara science, pseudo science, di satu sisi, dan metafisika di sisi lain3. Pembedaan ini menjelaskan kegundahan Popper di Summer 1919 itu. Kecenderungan untuk mengamati sebuah fenomena dan kemudian menurunkan menjadi sebuah teori yang digeneralisasi secara induktif, sebenarnya telah menyederhanakan berbagai fenomena yang belum diketahui. Bila, Popper adalah ilmuwan Fisika yang tentu saja memandang social science dari perspektif keilmuannya, maka Murray Sidman adalah seorang behavioral scientists yang melihat fenomena social science tentu dari perspektif yang berbeda dari Popper.

Menurut Murray Sidman4, ada enam kriteria untuk menilai sebuah teori:

  1. Inclusiveness, berapa banyak fenomena yang dijangkau oleh teori?

  2. Consistency, sampai seberapa bagus teori menjelaskan hal-hal baru tanpa memngubah asumsi dasarnya?

  3. Accuracy, sampai seberapa bagus teori memprediksi kejadian yang akan datang dan seberapa bagus menjelaskan kejadian masa lalu?

  4. Relevance, sampai seberapa bagus teori menjelaskan fakta?

  5. Fruitfulness, sampai seberapa bagus teori menurunkan gagasan-gagasan baru arah kelanjutannya?

  6. Simplicity, seberapa mudah teori dipahami?

Ternyata, Sidman mengukur akurasi sebuah teori berdasar enam kategori. Tampaknya Sidman tidak memperhitungkan kemungkinan falsifikasi teori. Meskipun, Popper juga tidak ingin mencari kesalahan, namun mencari makna teori. Popper menolak induksi yaitu penelitian ilmiah yang melanjutkan observasi menjadi teori.

Berkut adalah dua contoh dari perspektif bidang keilmuan saya.

  1. Keynes , setelah great depression 1930 itu, menemukan model Y = G + C + I, dimana Y atau GDP, C atau Consumption, I atau Investment. Ternyata G atau Government harus mengambil peran dengan government expenditure dan tidak semuanya diserahkan kepada swasta ketika terjadi kelesuan di Investasi yang mempengarhi GDP. Namun, model Keynes tidak pas diterapkan di negera berkembang karena unemployement dan inflasi terjadi secara bersamaan. Setelah itu kemudian dikenal sebagai era Post Keynesian.

  2. EOQ atau Economic Order Quantity adalah teori mengenai perseediaan dan dilengkapi dengan seperangkat asumsi yang harus dipenuhi. Meskipun demikian, model dasar EOQ yang dikembangkan oleh Wilson tahun 1955 itu terus saja dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan empirik yang belum dipenuhi oleh asumsi. Misal, kebutuhan dana, luas penyimpanan persediaan, perilaku harga, dan perilaku permintaan5. Maka, sebagai contoh, Wagner Within membuktikan dengan modelnya bahwa EOQ dengan variasi permintaan yang terlalu eratik tidak valid.

  3. Tragedi Ravi Batra yang ahli membuat prediksi di pasar modal Wall Street. Setiap prediksinya selalu benar hingga pada suatu saat dia secara diam-diam memprediksi bahwa sebuah keadaan akan terjadi dan dia menginvestasikan US $200,000.00. ternyata prediksinya meleset. Kisah Ravri Batra ini menjadi legenda dalam kuliah Business Forecasting,  bahwa ilmu-ilmu positivistik mengandung falsifiability yang disebabkan oleh The Immutable Law of Human Being6 dan The Immutable Law of Nature7.

  4. Maltus dengan teorinya, ternyata tidak memperhitungkan kemampuan manusia untuk berkembang dan menyelesaikan masalahnya.

  5. Demikian banyak teori-teori dalam operations research, semuanya merupakan model matematik, terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan empirik.

Artinya, benar apa yang dikemukakan oleh Popper bahwa model induktif untuk melahrkan teori cenderung falsifiable. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan Sidman bisa digunakan untuk menakar falsifiability-nya.

Sebagai contoh, adalah teori gravitasi Newton, sampai kini masih teruji dan digunakan sebagai untuk berbagai misi pendaratan di luar angkasa. Juga, teori tersebut sederhana dan telah menelorkan teori-teori baru. Jadi, semua pernyantaan Sidman terjawab positif. Agak berbeda dengan Toeri Einstein mengenai alam semesta yang tetap. Setelah Hubble diluncurkan, akhirnya para ilmuwan menemukan secara empirik bahwa alam semesta ternyata terus berkembang. Artinya, ada pertanyaan Sidman yang tidak terjawab positif.

Oleh karena itu, dengan memahami phylosophical science Popper, daya kritis untuk melihat sebuah fenomana semakin tinggi, untuk lebih dari sekedar mencari kebenaran atau kesalahan dari sebuah teori namun lebih dari itu, yaitu mencari makna dibalik itu.

_____________________

1Karl R. Popper, Science as Falsification, Conjectures and Refutations (1963). Critical Thought and Religious Liberty, http://www.stephenjaygould.org/ctrl/popper_falsification.html#see , 04/24/11

2Thornton, Stephen, “Karl Popper”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2009 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/sum2009/entries/popper/>. 04/24/11

3Muhadjir Noeng, Filsafat Ilmu, Rake Sarasin, 2006, hal 177

4Sidman, M. (1960). Tactics of scientific research: Evaluating experimental data in psychology. New York, NY: Basic Books. (Reprinted by Authors Cooperative, Boston, MA, 1988)

5Siswanto, Operations Research, Erlangga, 2007, Ch 13.

6Davidson, Alastair, The Immutable Laws of Mankind: The Struggle For Universal Human Rights, DOI 10.1007/978-94-007-4183-6 @Springler Science+Business Media BV 2012, pp141

7Ki Hadjar Dewanatara (Buku I).