Para Pemikir Kebajikan Pendidikan

 

Meskipun Pendidikan sudah ada seiring peradaban manusia sejak 7000 B.C – 5000 B.C jaman proliterate society ( Ornstein & Levine, 2003 ), namun sejarah Yunani dan Romawi kuno memberi pencerahan kepada mereka yang ingin mempelajari Pendidikan hingga hari ini. Bahkan, jauh sebelum jaman Socrates, yaitu tahun 1200 B.C, Kisah perang Yunani melawan bangsa Trojan oleh Homer telah digunakan untuk tujuan pendidikan yaitu:

  • Untuk melestarikan budaya melalui transformasi dari generasi tua ke generasi muda

  • Untuk membangun identitas budaya Yunani berdasar mitos dan sejarah asalnya

  • Untuk membangun karakter generasi muda

Agammemnon, Ulyses, Achiles, dan para pejuang yang lain diper­sonifikasikan sebagai dimensi kehidupan pejuang. Di samping itu, Yunani kuno juga memberi pencerahan mengenai peran Pendidikan dalam membentuk mayarakat yang baik (Ornstein & Levine, 2003 ). Dalam hal ini, Yunani Athena berbeda dari Yunani Sparta dalam hal Pendidikan bisa menjadi referensi mengenai bagaimana sebuah proses Pendidikan menentukan masa depan bangsa.

Di samping itu, Bangsa Yunani juga mengakui arti penting keterkaitan “ajur-ajer” dan partisipasi dalam pembentukan budaya melalui Pendidikan formal. Melalui Pendidikan, generasi muda Yunani dipersiapkan menjadi bagian dari masyarakatnya. Menjadi tanggungjawab Pendidikan formal kemudian untuk menyediakan pengetahuan yang diperlukan untuk memenuhi harapan masyarakat. Sebagai contoh, keyakinan warga Athena adalah Pendidikan liberal diperlukan untuk mengembangkan kepribadian dan kewajiban sebagai warga negara. Sebaliknya di Sparta, Pendidikan formal adalah pelatihan militer. Kehebatan peninggalan Yunani-Athen masih bisa dilihat dan menjadi kajian sampai sekarang, tetapi tidak dengan Yunani-Sparta. Renaisaance Humanism juga mengangkat kembali kearifan Yunani. Bisa dipahami mengapa Muhammad Hatta menulis buku Alam Pikiran Yunani sebagai hadiah perkawinan bagi istrinya. Hatta menulis bahwa menurut Pythagoras, Kesucian dan kejernihan ruh yang sebesar-besarnya dicapai dengan menuntut ilmu. Hidup sehari-hari itu tidak lain daripada gelanggang tempat menonton. Orang banyak melakukan rolnya dalam gelanggang itu. Tetapi manusia yang utama melihat saja (Hatta, 1941).

  1. Socrates (469-399 b.c)

Socrates (Nails & Debra, 2010) (Ornstein & Levine, 2003) meyakini bahwa pengetahuan itu ada namun itu tertanam dalam pikiran manusia, maka Socrates berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip universal mengenai Kebenaran, Keindahan, dan Kebaikan yang ia yakini mestinya itu mengatur perilaku manusia. Socrates menekankan prinsip-prinsip bahwa orang harus berusaha untuk menjadi unggul secara moral, hidup bijaksana, dan bertindak secara rasional. Pendidikan yang sesungguhnya hendaknya ”ngulowenthah” moral manusia agar unggul.

Peran Pendidik menurut Socrates adalah untuk mendorong siswa guna menggali lebih dalam makna kehidupan, kebenaran, dan keadilan, maka Pendidikan yang benar-benar liberal yang akan menstimulasi pembelajar untuk menemukan gagasan-gagasan kepada kesadaran pikiran kebenaran yang sudah ada dalam pikirannya. Socrates tidak percaya kepada Sophist, yaitu kelompok guru yang mengajar sekolah-sekolah komersial dan mengembangkan metoda-metoda baru pengajaran, bahwa pengetahuan atau kebajikan bisa dipindahkan dari guru ke siswa karena konsep pengetahuan sudah ada namun tertanam di pikiran manusia. Arah Pendidikan Socrates adalah membantu siswa untuk menemukan dirinya melalui self-examination. Dialog bukan berarti melulu berbagi opini-opini, namun merefleksikan dan mengkritisi dialog itu guna menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Metoda ini dikenal sebagai metoda Socrates. Lebih lanjut, Socrates menjadi sangat penting sekali dalam sejarah Pendidikan karena dengan tegas membela kebebasan akademik untuk berpikir, bertanya, dan mengajar. Socrates sering mengundang anak-anak muda Atena untuk bergabung dengannya guna mengkritisi berbagai isu agama, politik, moral, dan estetika. Namun, sebagai sosial kritik, Socrates membuat banyak musuh, termasuk kekuasaan, karena kegiatan Socrates dinilai telah menentang status quo. Maka, pada 399 B.C setelah dituduh melecehkan Tuhan dan mempengaruhi generasi muda Athena, maka Socrates harus memilih satu diantara dua gelas minuman dimana gelas yang satu adalah racun. Socrates tetap pada pendiriannya, pada keyakinannya mengenai pendidikan dan memilih untuk meminum gelas yang berisi racun.

  1. Plato Dan Pendidikan Greece-Athens

Plato adalah murid Socrates dan dia melanjutkan pemikiran-pemikiran Socrates. Dalam hal ini, Plato (Plato, 360 B.C.E ) percaya bahwa ada dua dunia. Pertama adalah dunia spiritual atau dunia mental yang bersifat abadi, permanen, berurutan, teratur, dan universal. Ke dua dunia penampakan yaitu dunia pengalaman melalui penglihatan, sentuhan, bau, rasa, dan suara yang sifatnya berubah, tidak sempurna, dan tidak teratur. Pembagian ini berdasar hakekat dualitas manusia, yaitu Jiwa dan Raga. Reaksi terhadap apa yang dirasakan segera oleh manusia lebih banyak berpusat pada pisik dan dunia sensori.

Plato menguraikan masyarakat impian dimana pendidikan semua keindahan dan kesempurnaan terhadap jiwa dan raga yang mereka mampu sebagai sesuatu yang ideal. Plato juga percaya bahwa jiwa sudah terbentuk sebelum kelahiran dan sempurna menjadi satu dengan alam semesta dan dengan kelahiran maka gagasan-gagasan tersembunyi tersebut dibuka menuju kesadaran melalui pendidikan agar menemukan dan mengembangkan kemampuan dan moral masing-masing untuk melayani masyarakat lebih baik.

Pendidikan menurut filsafat Idealisme (Cohen, 1999) adalah untuk menemukan dan mengembangkan kemampuan dan moral masing-masing untuk melayani masyarakat lebih baik. Kurikulum mengutamakan literatur, sejarah, dan agama. Metoda pengajaran fokus pada penanganan masalah-masalah melalui penjelasan, diskusi, dan dialognya Socrates yaitu metoda pengajaran yang menggunakan pertanyaan untuk membantu siswa menemukan dan mengklarifikasi pengetahuannya. Introspeksi, intuition, insight, dan semua bagian logika digunakan untuk memunculkan kesadaran dan membangun konsep yang tersembunyi dalam pikiran. Karakter dikembangkan melalui peniruan contoh dan ketokohan atau kepahlawanan. Menurut Plato (Ornstein & Levine, 2003) (Greece Index) (The British Museum ) (Doleys) (Minos & Karayannis), pendidikan jiwa, raga, estetika akan membuat siswa laki-laki akan semakin belajar lebih perwira, lebih perasa dan peka terhadap situasi, lebih berharmoni, dan lebih menyatunya kata dan tindakan. Dalam kehidupan laki-laki, setiap bagian membutuhkan harmoni dan keteraturan. Karakter bukan buku pelajaran tetapi tujuan utama pendidikan bangsa Greece-Athens.

  1. Pestalozzi.

Bagian Pertama dari empat bagian tulisan Pestaloozi (1746-1827) yaitu Introductions, menjelaskan ringkasan pesan pokok, gagasan, dan pemikiran Pestaloozi serta merupakan alfa dan omega yang memuat dua karya Pestaloozi yaitu “Figures about my ABC” book or about the Beginnings of my Thinking (1797)”, disebut : ‘Fables’” dan Pestalozzi’s Swansong (1826), disebut: ‘Swansong“ yaitu berupa gagasannya mengenai arti penting pendidikan elementary school dan orang miskin serta pesan pokok sebelum dia meninggal mengenai hakekat human nature serta kekuatan Head, Hand, and Heart .

Di samping itu Pestaloozi juga menekankan betapa penting pendidikan sejak dini karena eliminasi Sensual Nature, atau Animal Nature sebutan yang lebih disukai oleh Pestaloozi, sejak dini akan meninggikan Higher Nature yang tidak bisa dirusak. Pada tahun 1782, berarti tahun­-tahun hidup di Neuhof, Pestalozzi menulis surat1 :

The only book that I have studied for years is the book of man, on him and on experience about him and of him I found all my philosophy”.

dan Pestalozzi mengeksplorasi sifat seseorang dan mengembangkan teorinya mengenai masyarakat, politik, teologi, psikologi dan pendidikan dari gagasan mengenai sifat manusia yang dia miliki di hatinya kedalam dua puluh dua butir gagasan fundamental Pestalozzi yang bukan hanya menjelaskan hal penting multidimensi manusia sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar seperti negara dan menyangkut hak dan kewajiban namun juga sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Ada tiga isu fundamental dalam ketiga puluh dua butir tersebut yaitu :

  • Hakekat manusia

  • Hakekat kehidupan sosial

  • Peran pendidikan .

Oleh karena itu, pendidikan untuk mengeliminasi Animal Nature agar Higher Nature permanen mendominasi, menurut Pestaloozi, akan meluruskan proses perkembangan tiga tahap perkembangan sosial yaitu dari Natural State menuju ke Social State dan dari Social State menuju ke Moral State yang akan membawa ke empat kemungkinan cara manusia eksis, yaitu : [1] Sebuah eksistensi yang murni alami dimana lembaga-lembaga sosial yang bebas dan sayangnya hanya bisa dibayangkan, [2] Sebuah eksistensi dimana orang mengikuti keinginan mementingkan diri mereka dan menunjukkan tidak ada pertimbangan untuk bermasyarakat, [3] Masyarakat dengan keinginan untuk mementingkan diri sendiri secara terbatas dan mengakui bentuk sosial untuk melihat perhatian terhadap individu secara sah, [4] Eksistensi moral dimana manusia mengangkat dirinya diatas egoisme dan menuju kesempurnaan diri serta membuat orang lain bahagia.

Menurut Pestaloozi, Natural State, Social State, dan Moral State tersebut harus dipahami sebagai tiga macam eksitensi manusia yang berbeda dimana setiap capaian manusia dapat dianalis sebagai bagian dari ketiganya. Maka, Pestaloozi memberi empat alternatif tersebut namun, dari keempat alternatif tersebut hanya dua yang mungkin bisa berjalan, yaitu:

  • Masyarakat dengan keinginan untuk mementingkan diri sendiri secara terbatas dan mengakui bentuk sosial untuk melihat perhatian terhadap individu secara sah. 

  • Eksistensi moral dimana manusia mengangkat dirinya diatas egoisme dan menuju kesempurnaan diri serta membuat orang lain bahagia.

Diantara kedua alternatif tersebut, alternatif terakhir kelihatan sangat ideal, kalau tIdak dikatakan utopis. Oleh karena itu, alternatif “masyarakat dengan keinginan untuk mementingkan diri sendiri secara terbatas dan mengakui bentuk sosial untuk melihat perhatian terhadap individu secara sah” adalah sebuah bentuk yang cukup wajar.

Di bagian akhir surat yang ke tiga puluh empat, atau surat terakhir kepada J.P. Greaves, Pestaloozi menekankan mengenai arti penting faith, love, and happiness serta peran ibu dalam pendidikan sehingga bisa menilai mana yang baik dan benar dengan belajar dan mempraktekkan pendidikan sejak di lingkungan keluarga atau nuclear family (Pestalozzi, 1819).

  1. Ki Hadjar Dewantara

Tidak ada keabadian dalam kehidupan manusia dan lingkungannya. Pengaruh alam dan jaman adalah penguasa kodrat yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Anak-anak adalah sebuah kehidupan yang akan tumbuh menurut kodratnya sendiri, yaitu kekuatan hidup lahir dan hidup batin mereka (Dewantara I,2004). Maka, Ki Hadjar menekankan arti penting memperhatikan kodrat alam dalam diri anak semasa pendidikan. Artinya Pendidikan itu sudah setua usia manusia ketika manusia mulai bertahan hidup dan mempertahankan hidup dengan membangun peradabannya. Mendidik anak itu sama dengan mendidik masyarakat karena anak itu bagian dari masyarakat. Mendidik anak berarti mempersiapkan masa depan anak untuk berkehidupan lebih baik, demikian pula dengan mendidik masyarakat berarti mendidik bangsa ( Dewantara I, 2004).

Menurut Ki Hadjar, Pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia yaitu kodrat alam dan zaman atau masyarakat (Dewantara II , 1994). Dengan demikian, pendidikan itu sifatnya hakiki bagi manusia sepanjang peradabannya seiring perubahan jaman dan berkaitan dengan usaha manusia untuk memerdekakan batin dan lahir sehingga manusia tidak tergantung kepada orang lain akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.

Oleh karena itu, kemerdekaan menjadi isu kritis dalam Pendidikan karena menyangkut usaha untuk memerdekakan hidup lahir dan hidup batin manusia agar manusia lebih menyadari kewajiban dan haknya sebagai bagian dari masyarakat sehingga tidak tergantung kepada orang lain dan bisa bersandar atas kekuatan sendiri. Namun, disisi yang lain, kemerdekaan itu bersifat tiga macam yaitu: [1] berdiri sendiri, [2] tidak tergantung kepada orang lain, [3] dan dapat mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, kemerdekaan itu berarti manusia sebagai mahkluk individu dan sekaligus sosial dapat mengatur ketertiban hidupnya dalam berhubungan dengan kemerdekaan orang lain ( Dewantara I, 2004).

1[Pestalozzi, H. J. (1782), Inhaltliche Verantwortung: Kuhlemann, G & Brühlmeier, A., Anthropology – about Humans, Verein “Pestalozzi im Internet” (2013), http://www.heinrich-pestalozzi.de/en/documentation/fundamental_ideas/anthropology/index.htm

Leave a Reply