Geert Hostede Analysis for Indonesia

  1. HofstedeGeert Hofstede Analysis For Indonesia (Hofstede, 2001).

    Indonesia terdiri dari berbagai bangsa yang terbangun seiring dengan usia peradaban sejarah kemanusiaan dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Pendidikan Multi Kultural pertama tertuang dalam “pupuh” atau “kakawin” yaitu puisi tradisional Sutosoma karya Empu Tantular 130 bait 5 (Soewito, 1975) :

       Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Meskipun kakawin ini mengenai toleransi kehidupan masyarakat umat beragama Hindu dan Budha di abad 14, dan juga artefak komplex Candi Prambanan dimana Candi Jonggrang Hindu dan Candi Sewu Budha yang dibangun sebelum jaman Majapahit yaitu pada 850, namun keduanya telah memberi gambaran mengenai bagaimana masyarakat yang tadinya saling berseteru karena perbedaan keyakinan bisa hidup rukun dan berdampingan di Nusantara. Juga bagaimana Tantular menyarankan kepada Gadjah Mada pada masa kejayaan Majapahit untuk menghormati masyarakat Samodra Pasai yang berbeda keyakinan serta pemahaman yang sama terhadap Hyang Tunggal atau the Supreme Being dibuat oleh Tantular dan Panuluh. Artefak budaya itu masih hidup dinamis dalam pewayangan Jawa dimana the Supreme Being disebut sebagai Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang (Tandes, 2007).

Sampai sekarang, ketika ratusan suku bangsa hidup dinamis dan bekembang ditengah dinamika kehidupan modern, keragaman dari the heritage of Indonesia itu masih terlihat di berbagai pelosok Nusantara dan tersebar di berbagai pulau. Mereka adalah aset bangsa, cikal bakal bangsa, benih awal bangsa ini. Maka, hiruk pikuk dan debat di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah memberi gambaran mengenai bagaimana pertarungan kearifan filosofi dan ideologi untuk mendisain dan memunculkan karakteristik nilai NKRI itu telah mencerminkan warisan luhur bangsa dalam memandang perbedaan (Sekneg RI, 1995).

Pilihan Integralistik yang lebih dikenal sebagai Integralistik Soepomo Menurut teori integralistik, negara adalah susunan masyarakat yang integral, semua anggota masyarakat merupakan bagian dari persatuan organis. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat, tidak mengutamakan kepentingan pribadi, melainkan menjamin keselamatan hidup seluruh bangsa sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di samping itu, living in harmony sebagai kehendak bersama itu juga menghendaki syarat Keadilan Sosial seperti tertuang dalam sila ke lima Pancasila yang telah disepakati bersama dan terutang dalam pembukaan UUD 1935. Jadi, ketika Pancasila dan UUD 1945 adalah Political Philosophy NKRI maka paham integralistik itu menjadi paham yang mendasari dan merupakan kewajiban. Pertanyaan kritis tentu muncul mengenai hak sebagai warga negara. Maka Pembukaan UIUD 1945, dimana Pancasila didalamnya, dituangkan kedalam batang tubuh 1945 dimana hak-hak dan kewajiban setiap warga negara diatur.

Di samping itu, filosofi dan ideologi bangsa yang menjelma kedalam konstitusi itu menjadi ciri bangsa dan sekaligus menjadi Political Philosophy. Penelitian Hofstede dengan menggunakan lensa 5-D model mengenai lima dimensi budaya di berbagai negara, termasuk Indonesia memberi gambaran menarik mengenai “deep driver” budaya Indonesia relatif terhadap budaya-budaya dunia. Penelitian Hostede terhadap Power distance, Individualism, Masculinity/Feminikty, Uncertainty Avoidance, dan Long Term Orientation menunjukkan bahwa (Hofstede, 2007):

  1. Power Distance, the extent to which the less powerful members of institutions and organisations within a country expect and accept that power is distributed unequally. Menunjukkan bahwa score Indonesia tinggi, yaitu 78 padahal average power dari Asian Countries adalah 71, dan itu berarti bangsa Indonesia dependen terhadap hirarki, terjadi ketidaksamaan hak antara pemegang kekuasaan dan bukan pemegang kekuasaan, pemimpin direktif, Kekuasaan terpusat dan manajer mengandalkan ketaatan anggota tim mereka. Karyawan berharap untuk diberitahu apa yang harus dilakukan dan kapan, Pengendalian diharapkan dan manajer yang dihormati karena posisi mereka,

  2. Individualism, the degree of interdependence a society maintains among its members. Indonesia dengan score 14, dibandingkan dengan rangking Asia tertinggi 23 dan ranking tertinggi dunia 43, masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektif dimana orang mengikuti kelompok dan patuh serta loyal terhadap kelompoknya. Anak Indonesia patuh kepada orang tua sebagaimana dulu orang tuanya patuh selama masa pertumbuhan dan perkembangannya.

  3. Masculinity / Femininity, The fundamental issue here is what motivates people, wanting to be the best (masculine) or liking what you do (feminine). Nilai yang tinggi dari dimensi maskulin menunjukkan bahwa masyarakat didorong berkompetisi, pencapaian, dan kesuksesan dimana sukses didefinisikan sebagai pemenang atau terbaik di bidangnya, sebuah sistem nilai mulai dari sekolah dan berlanjut di perilaku organisasi. Nilai rendah dari dimensi ini adalah masculine, sebagai kebalikan dari feminine. Dan itu berarti bahwa nilai dominan dalam masyarakat adalah memperhatikan sesama dan kualitas kehidupan. Dalam dimensi ini score Indonesia 46, berarti masuk dalam low Masculine. Dengan kata lain, memiliki nilai rendah dalam berkompetisi.

  4. Uncertainty Avoidance, The extent to which the members of a culture feel threatened by ambiguous or unknown situations and have created beliefs and institutions that try to avoid these. Dimensi Uncertainty Avoidance memotret cara masyarakat menanggapi masa depan yang tidak pernah diketahui. Apakah akan mengontrol masa depan atau akan membiarkan terjadi. Ambiguitas ini membawa kegelisahan dan budaya yang berbeda untuk mengatasi kegelisahan tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Score Indonesia pada dimensi ini 48 dibanding score tertinggi 58 rata-rata Asian dan dunia 64, berarti medium low preference untuk menghindari ketidakpastian. Ini berarti, ada preferensi kuat di Indonesia menuju budaya Jawa yang memisahkan diri internal dari eksternal. Sisi lain dari posisi ini adalah dalam dimensi resolusi konflik yang cenderung menghindari komunikasi langsung yang bersifat mengancam namun lebih ke pemeliharaan hubungan dan harmoni.

  5. Long Term Orientation, the extent to which a society shows a pragmatic future-oriented perspective rather than a conventional historical short-term point of view. Dimensi ini mengukur sejauh mana masyarakat merasa malu atau tidak merasa malu, devosi jangka panjang terhadap tradisi, nilai berpikir kedepan atau visioner, dan dimensi ini berkaitan dekat dengan pengajaran Confusius dan dapat diinterpresaikan sebagai berkaitan dengan pencarian masyarakat terhadap kebajikan. Rangking High Long-Term Orientation mengindikasikan sejauh mana negara menentukan nilai komitmen jangka panjang dan menghargai tradisi. Sebaliknya, rangking Low Long-Term Orientation menandai negara tidak mendorong konsep jangka panjang dan orientasi tradisi. Perubahan dapat cepat terjadi ketika komitmen dan orientasi tradisi jangka panjang tidak menjadi hambatan untuk berubah. Dalam hal ini, Hostede tidak mengukur LTO untuk Indonesia untuk alasan yang tidak dijelaskan. Namun demikian, nilai dari beberpa negara mungkin bisa digunakan untuk menduga kira-kira bagaimana rangking LTO Indonesia. Kelompok pertama adalah dua negara Asia yang menjadi North Gate Asia adalah Jepang 80 dan South Korea 75. Kelompok ke dua adalah dua negara angota BRICS yaitu Brazil 65 dan India 61. Kelompok ke tiga adalah kelompok negara-negara Scandinavia yang negaranya menempati ranking tertinggi di bidang pendidikan, yaitu Denmark 46, Norway 44, dan Findland 41. Kelompok terakhir atau kelompok ke empat adalah France 39, Germany 31, Australia 31, USA 29, dan United Kingdom 25. Dua bangsa di North Gate Asia itu bisa dipahami kalau menjaga tradisinya dan memilki High LTO. Sebaliknya, dan ini menarik, kelompok terakhir empat negara Industri yang masuk dalam G8 justru memiliki Low LTO dan bahkan United Kingdom sebagai negara Monarchi Konstitusional. Artinya, bangsa itu terbuka untuk perubahan dan memiliki orientasi jangka panjang. Diantara dua kontinuum ini ada dua kelompok yaitu kelompok negara yang menjadi anggota BRICS, yaitu Brazil dan India. Kedua negara ini berbeda sama sekali dalam latar belakang sejarahnya, namun keduanya memiliki nilai yang hampir sama. Kelompok lain adalah negera-negara Scandinavia yang maju dalam hal pendidikan. Bila ke dua anggota BRICS itu di High-Medium LTO, artinya agak menahan diri untuk perubahan, maka negara-negara Scandinavia tersebut berada pada Low-Medium LTO justru sebaliknya yang cenderung agak mudah berubah. Bagaimana dengan Indonesia ? Melihat nilai kelompok ini dan kombinasi dari dimensi yang lain yang diperbandingkan, spekulatif Indonesia mungkin disekitar rangking 60. Agak konservatif namun tidak menutup diri pada perubahan, tetapi juga tidak begitu berorientasi jangka, panjang.

Sebagai tambahan, antropologist Edward T Hall melihat bahwa masyarakat dari macrosystem atau budaya berbeda melihat dunia secara berbeda dan tidak peduli bahwa masih ada alternatif-alternatif untuk merasakan, percaya, berperilaku, dan menilai. Secara khusus adalah asumsi-asumsi secara tanpa sadar dibuat oleh manusia mengenai ruang personal, waktu, dan relasi-relasi interpersonal. Maka, Hall membedakan antara high context Macrosystem dan low context Macrosystem dengan memperhatikan General Characteristics dan Significant Values pada masing-masing kelompok (Berns, 2007).

Menurut tabulasi matrix Hall di Gambar 30, tampak bahwa karakteristik bangsa Indonesia yang diteliti oleh Hofstede, juga muncul dalam pembagian Hall baik pada General Characteristic maupun pada Significant Values. Ternyata bangsa Indonesia masuk dalam ketegori High Context Macrosystem.

 Hall

Gambar 30: Hall : Low-Context and High-Context Macrosystem Matrix

 

Leave a Reply