Tritunggal

Dalam alinea ke dua pembukaan UUD 1945 tercantum tujuan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia yaitu pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Itulah tujuan kemerdekaan menurut proklamasi 17 Agustus 1945.

Pembangunan sebuah bangsa tidak akan pernah lepas dari pendidikan untuk menyemai ke dua jawaban terhadap pertanyaan Mr Soepomo tersebut kepada setiap generasi agar operasional dalam kehidupan dan membentuk modal sosial bangsa guna mewujudkan cita-cita proklamsi 17 Agustus 1945. Muara dari paham Integralistik adalah passion tiga bapak Bangsa yaitu Soekarno-Ideologi Bangsa, Muhammad Hatta-Ekonomi Bangsa, dan Ki Hadjar Dewantara-Pendidikan Bangsa. Dari proposi manapun ketiga pemikiran bapak bangsa tersebut salng berhubungan.

  1. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara, yang juga menjadi anggota BPUPKI, sudah berpikir mengenai pendidikan untuk membangun bangsa melalui pendidikan jauh sebelum BPUPKI dibentuk, yaitu sejak Ki Hadjar pulang dari pembuangan di Belanda sebagai aktifis perjuangan melalui Taman Siswa sejak 1922. Rentang waktu 23 tahun dari tahun 1922 hingga 1945 merupakan rentang waktu panjang bagi Ki Hadjar untuk terus menerus memikirkan pendidikan bagi bangsanya dalam dinamika perjuangan dengan kaum republik seperti tertuang di buku I dan II Ki Hadjar Dewantara yang diterbitkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa. Sehingga bisa dipahami kalau pemikiran Ki Hadjar sejalan dengan pemikiran para pejuang republik dan mewarnai bukan hanya PPPRI di jaman menteri pendidikan Mr. Soewandi dimana Ki Hadjar duduk sebagai ketua, namun juga UU Pendidikan pertama No 4 Th 1950 Jogja ketika Ki Mangunsarkara menjadi menteri pendidikan.

Disamping itu, filosofi dan ideologi bangsa yang menjelma kedalam konstitusi itu menjadi ciri bangsa dan sekaligus menjadi Political Philosophy. Penelitian Hofstede17 mengenai lima dimensi budaya di berbagai negara, termasuk Indonesia18, menunjukkan bahwa : Indonesiahas Power Distance (PDI) as its highestranking Hofstede Dimension at 78. The average Power Distance for the greater Asian countries is 71. Artinya, ketidakseimbangan kekuasaan dan kesejahteraan dalam masyarakat cukup tinggi. Dalam kehidupan bermasyarakat, itu bukan berarti menjadi masalah namun cukup diterima di masyarakat sebagai bagian dari mereka dan cultural heritage.

The second highest Hofstede ranking for Indonesia is Uncertainty Avoidance (UAI) at 48, compared to the greater Asian average of 58 and a world average of 64. Semakin tinggi nilai UAI maka semakin rendah toleransi masyarakat. Jadi, masyarakat Indonesia dibanding rata-rata bangsa Asia dan dunia lebih toleran.

Indonesia has one of the lowest world rankings for Individualism (IDV) with a 14, compared to the greater Asian rank of 23, and world rank of 43. Angka tersebut menjelaskan Gambaran mengenai bangsa Indonesia yang lebih choletivistic bila dibanding individualistic. Ini menjelaskan mengapa paham integralistik Soepomo yang dipilih. Jadi, Hofstede menandai budaya bangsa Indonesia sangat toleran dan sangat kolektivisttik serta menghendaki semangat kebersamaan.

General Characteristics dan Significant Values pada High Context Macrosystem dalam model sistem ekologi perkembangan anak dan orang dewasa Uri Bronfenbrenner19 menjelaskan bagaimana ke dua parameter tersebut menjadi unsur dominan dalam budaya collective, toleransi, dan mudah menerima budaya asing.

Hall

In a 1983 essay Clifford Geertz20 points to the importance of gotong royong in Indonesian life:

An enormous inventory of highly specific and often quite intricate institutions for effecting the cooperation in work, politics, and personal relations alike, vaguely gathered under culturally charged and fairly well indefinable value-images–rukun (“mutual adjustment”), gotong royong (“joint bearing of burdens”), tolong-menolong (“reciprocal assistance”)–governs social interaction with a force as sovereign as it is subdued.

Anthropologist Robert A. Hahn21 writes:

Javanese culture is stratified by social class and by level of adherence to Islam. …Traditional Javanese culture does not emphasize material wealth. …There is respect for those who contribute to the general village welfare over personal gain. And the spirit of gotong royong, or volunteerism, is promoted as a cultural value.

Jadi, pendapat Clifford Geertz dan Robert A. Hahn, yang membahas Socio DemocracySoekarno yang dikatakan bukan sebagai demokrasi ala barat namun mutual adjustmentjoin bearing of burdenvoluntarism dan the Spirit of “Gotong Royong” sebagai cultural value,semakin menjelaskan hubungan antara budaya toleran dan kolektivitistik Hofstede dengan penilaian Clifford Geertz dan Robert A Hahn serta Urie Brofnenebefnner mengenai nilai Gotong Royong dalam Pancasila sebagai Political Philosophy. Tampak pengaruh filsafat idealism disini.

Oleh karena itu, Political Philosophy NKRI itu sebenarnya merupakan Value System bangsa Indonesia yang sering dikatakan sebagai kristalisasi nilai-nilai bangsa , The Way of Life bangsa Indonesia dimana living in harmonydiversity within unity adalah ciri yang bisa dilihat dan ditandai yang berasal dari kehendak diri untuk mewujudkan. Jadi, sifatnya wajib dan merupakan kesadaran bersama. Pendidikan sebagai estafet peradaban antar generasi memegang peranan sangat menentukan dalam kelangsungan bangsa dan negara ini sesuai dengan konsitusi. Bangsa ini telah memulai berpikir mengenai hidup rukun, paling sedikit seperti dalam kakawin Sutosoma, sejak abad ke delapan, ataupun sebelum dalam konflik panjang Syailendra dan Sanjaya di Medang.

Leave a Reply