Social Reconstructionism Dalam Pendidikan

  1. Social Reconstruction Ideology

Para ahli Rekonstruksi Sosial melihat dunia dari perspektif sosial. Mengapa masyarakat perlu direkonstruksi ulang ?

Dalam perubahan yang rumit dan saling tali-temali, perubahan itu bisa menghancurkan peradaban yang sudah ada dan bisa membawa masyarakat ke arah kondisi yang lebih buruk karena perang, SARA, sex bebas, kemiskinan, polusi, korupsi, eksploitasi tenaga kerja, kriminal, peledakan penduduk, kelangkaan enerji, kesehatan yang tidak memadai, pengangguran, pemanasan global, keadilan sosial terabaikan.

Demikian banyak pelajaran sejarah yang telah menjelaskan kehancuran sebuah peradaban masyarakat oleh sebab-sebab tersebut sejak peradaban manusia bisa dilacak. Up and down Ancient Greek civilization sejak Macedonian hingga Athens dan Sparta bisa memberi gambaran bagaimana peradaban itu dibentuk, hancur, kemudian dibangun lagi. Juga Somalia adalah contoh konkrit 2012 dalam delapan indikator global menduduki peringkat tertinggi Failed State Country atau kategori negara gagal. Juga Beirut Lebanon, salah satu artefak keindhaan timur yang porak poranda.

Maka, untuk melindungi masyarakat dari self destruction tersebut, Visi mengenai masyarakat yang lebih baik dari yang ada sekarang serta Strategi untuk mewujudkan Visi tersebut harus dikembangkan (Schiro, 2008) dimana Rekonstruksi Sosial mengasumsikan bahwa:

    • Kehidupan masyarakat terancam oleh banyak masalah seperti masalah-masalah sosial dan ekonomi.

    • Sesuatu harus dilakukan untuk melindungi masyarakat dari proses penghancuran diri sendiri.

    • Pendidikan adalah cara untuk merekonstruksi masyarakat.

    • Pendidik menyediakan sarana untuk merekonstruksi masyarakat.

    • Pendidikan adalah alat untuk melakukan Rekonstruksi Sosial melihat kurikulum dari perspektif sosial.

    • Memberdayakan masyarakat secara ajeg untuk merekonstruksi dirinya sendiri.

Ada dua nama pencetus Social Reconstructionism dalam filsafat pendidikan, yaitu George Sylvester Counts (1889-1974)dan Theodore Burghard Hurt Brameld (1904–1987) yang melihat bahwa perubahan sosial harus dilakukan melalui pendidikan untuk memperbaiki keadaan dan memandang bahwa Existentialism, Perenialism, dan Progressivism bukan merupakan jawaban. Pemikiran mereka masuk ke dalam kelompok Critical Education (Ornstein et.al, 2011).

  1. George Sylvester Counts (1889-1974)

Setelah great depression yang ditandai oleh stock market crash of “Black Tuesday,” Oct. 29, 1929 (The New York Times, 2012), unemployment di Amerika mencapai 20% di tahun 1932 dan 24.9% pada 1933 atau sekitar 15 juta orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Kemudian, George Counts pada tahun 1932 memberikan kritik terhadap fenomena yang terjadi tersebut dan bisa dikelompokkan kedalam dua arah kritik, yaitu [1] terhadap American Values, dan [2] terhadap Progressivism.

Kritik terhadap american values

George Counts dalam “Dare Progressive Education Be Progressive?” (Counts, 1932) mengkritik keras freedom, individualism, dan capitalism di Amerika jauh sebelum fenomena global plutocracy dan priest of capitalism muncul pada abad 21 dengan kalimat “Man without human society and human culture is not man”. dan “the man who would live unto himself alone is now a public enemy; the day of individualism in the economic sphere is gone”. Pandangan Counts sangat berseberangan dengan liberalism dan capitalism dan itu diimplementasikan dalam pendidikan.

Menurut Counts, kebebasan tanpa dasar kesejahteraan ekonomi pada dasarnya bukan kebebasan sama sekali dan hanya plutokrasi yang memiliki kebebasan itu. Capitalism dan Individualism dalam dunia ekonomi sudah tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Kapitalisme telah mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan masa depan dan membuat teknologi untuk melayani kepentingan-kepentingan individu dengan motif keuntungan sehingga saatnya telah sampai pada titik dimana kompetisi harus diganti dengan kerjasama, motivasi keuntungan diganti dengan perencanaan yang berhati-hati, serta private capitalism diganti dengan beberapa bentuk socialized economy. Maka, perubahan sistem ekonomi tentu saja menghendaki perubahan dalam idealisme Amerika.

Kritik terhadap progressivism

Counts mengkritik Progressivism yang tidak memiliki orientasi. Progressive Education tidak bisa membiarkan dengan bebas kemauan anak. Argumentasi dasar yang dipergunakan adalah bahwa education movement berarti bergerak ke depan, dan bergerak ke depan berarti harus memiliki arah dan tujuan yang jelas. Tanpa arah dan tujuan yang jelas maka education movement itu sedikit memiliki arti dalam perubahan masyarakat karena individu yang baik adalah bagian dari konsepsi alami masyarakat yang baik.

Kritik Counts yang paling mendasar terhadap Progressivism adalah bahwa Progressivism tidak mengelaborasi teori tentang kesejahteraan masyarakat. Maka, manusia tanpa masyarakat yang manusiawi dan manusia yang berbudaya bukan orang dan Pendidikan yang baik adalah bagian dari konsepsi alami masyarakat yang baik. Gerakan progressive hendaknya muncul dalam kegiatan-kegiatan positif penciptaan tradisi-tradisi baru kehidupan Amerika, tradisi untuk memiliki kekuatan, arah, dan harapan sehingga Contemplative Education movement, the Goodwill Education movement, atau the Hopeful Education movement berperan dalam mewujudkan the American dream. Esensi Pendidikan menurut Counts adalah dinamis dan merupakan fungsi waktu dan keadaan.

Lebih lanjut, sekolahan menurut Count, seperti dibahas di “Dare Progressive Education Be Progressive?” (Counts, 1932), bisa menjadi inkubator bagi masyarakat yang didedikasikan untuk bekerjasama dan bukan untuk eksploitasi dimana para pendidik mempunyai kewajiban untuk membentuk sikap anak sedemikian rupa sehingga mereka akan menghargai gagasan tentang perlunya pengendalian ekonomi secara bersama.

Oleh karena itu, meskipun pandangan Counts ini berlatar belakang pada kondisi lingkungan di Amerika pada 1930, namun pertanyaan kritis Counts tentang Capitalism, Individualism, dan Freedom sebagai sebuah bentuk pilihan yang menyejahterakan masyarakat tetap relevan hingga kini karena pertarungan antara social welfare dan individual welfare itu terus berlangsung dan fenomena kemiskinan dan ketidakadilan itu terus terjadi,

  1. Theodore Burghard Hurt Brameld(1904–1987)

Meskipun dengan intensi yang sama dengan Counts, namun Brameld memulai pemikirannya dengan dua isu fundamental yang memiliki hubungan sebab dan akibat, yaitu Krisis dan Pendidikan. Pengalaman Brameld di Jepang dan Korea tampak mempengaruhi pemikirannya mengenai kearifan timur terutama dalam sisi sistem nilai dan budaya.

Kosa kata krisis dimana krisis dikonotasi sebagai major dislocation, yaitu ketika anggota masyarakat merasa terlepas dari ikatannya dan merasa terasing, terlepas dari akarnya, atau merasa kebingungan karena dislocation di lembaga-lembaga, kebiasaan-kebiasaan, sikap dan perilaku budaya atau bagian dari budaya (Brameld, 1965). Itulah situasi yang terjadi setelah The Great Depression, antara1929 dan 1932 dimana pendapatan rata-rata keluarga Amerika turun 40% dari $ 2,300 ke $ 1.500,dalam pengamatan Brameld. Menurut Brameld, ada dua kekuatan yang secara diametral saling berhadapan, yaitu kekuatan yang ingin menghancurkan diri sendiri dan di sisi yang lain adalah kekuatan yang akan membangun kembali peradaban masyarakat untuk meningkatkan getaran humanese, greatness, dan richness. Brameld menyebut fenomena ini sebagai dislocated time.

Sedang Pendidikan menurut Brameld adalah fenomena universal yang akan ada bilamana dua orang atau lebih hidup bersama apapun bentuk hubungan mereka. Pola hubungan itu akan ditransmisi dan dimodifikasi selama hidup mereka dan antar generasi. Manusia menggunakan bahasa untuk memahami dan memodifikasi pola hubungan tersebut, dan disinilah manusia belajar.

Manusia belajar dari budaya, dari guru, dari orang tua, dan dari lingkungannya hingga menjadi dewasa. Maka, education and learning menjelaskan bagaimana proses itu terjadi baik secara intensional maupun no intensional. Dalam proses tersebut anak memodifikasi informasi yang dia miliki melalui proses interpretasi dan persepsi, Gambar 25.

Hingga dewasa transformasi budaya melalui proses terus berlanjut. Maka, disinilah sebenarnya peran Pendidikan untuk memodifikasi dan menginovasi pola tersebut melalui proses transformasi. Seperti kondisi dan situasi di Indonesia yang sedang mengalami krisis multidimensional. Meminjam istilah Brameld, acute dislocation sedang terjadi, maka peran Pendidikan lebih bersifat diagnostic dan prognostic, ibarat menentukan jenis obat untuk penyakit, guna mengubah kondisi sosial masyarakat sejak dini bagi generasi muda sangat penting dan mendesak untuk dilakukan (Brameld, 1965).

Disini peran Guru sebagai Pendidik di keluarga, Sekolah, dan Masyarakat yang memiliki karakter untuk membangun Bangsa Indonesia bersifat sangat vital. Kalau memakai teori Brofnenbrenner, Macrosystem itu harus menjadi orientasi bagi lingkungan Exosystem, Mesosystem, hingga Microsystem agar acute dislocation itu bisa disembuhkan. Ada empat posisi filosofis Pendidikan sebagai kekuatan (Brameld, 1965).

Anak memaknai

Gambar 25: The Child As Meaning Maker

Pertama, Pendidikan bertanggungjawab penuh untuk menemukan dan mempersiapkan “superior students” agar mereka menjadi agen perubahan di bidang yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Pada saat yang sama, “average students” di-didik dan didorong untuk menggapai batas kemampuan atau kapasitasnya. Kepada mereka semua disadarkan mengenai tantangan yang dihadapi oleh bangsanya, baik dari dalam maupun dari luar termasuk persaingan antar bangsa. Fasa ini telah dilakukan oleh Soekarno pasca kemerdekaan. Habibie dan angkatannya adalah artefak pertama posisi filosofis Pendidikan sebagai kekuatan Pendidikan, termasuk mereka yang tidak bisa pulang hingga sekarang yang jumlahnya ratusan dan tersebar di berbagai negara di Eropa karena korban politik dalam negeri pada saat pergantian rezim.

Ke dua, Brameld mengkritik “knowledge is power” Francis Bacon dan lebih melihat ke “knowledge is virtue” Socrates sebagai puncak bukit. Selanjutnya purest possible knowledge yang dapat menuju ke keindahan, kebaikan, dan kebenaran yang dikembangkan oleh Plato dan Aristotle. Ketiganya akan menuju ke tujuan yang sama bila dan hanya bila Pendidikan terutama di Pendidikan Tinggi mengutamakan pembangunan “mental faculties” secara maksimum sehingga orang akan menggunakan kekuatan pendidikan untuk tujuan-tujuan baik dibanding tujuan-tujuan jahat.

Ke tiga, cara terbaik untuk mengembangkan pendidikan sebagai kekuatan adalah dengan mendidik masyarakat bagaimana mencari tahu dan mengembangkan kapasitas masyarakat bukan hanya untuk menyelesaikan masalah secara ilmiah namun juga menyelesaikan masalahnya sendiri dan lingkungannya. Penguasaan scientific method untuk menguasai non human world tidak menjamin penguasaan human world. Maka, koreksi terhadap ketidakseimbangan harus dilakukan secara reflektif untuk menyeimbangkan non human world dengan human world melalui pendidikan.

Ke empat, bagaimana Pengetahuan bisa menjadi kekuatan moral, Pengetahuan dan Pendidikan bisa diarahkan melalui cara yang baik menuju tujuan yang baik dan bagaimana tujuan baik dan berdayaguna itu diarahkan. Mayoritas masyarakat harus mengendalikan pilihan yang telah disepakati bersama untuk menuju ke arah yang lebih baik dalam bidang kebijakan ekonomi, politik, dan sosial. Guru dan Profesor sekolah dan Perguruan Tinggi harus mencari cara untuk menyatukan seluruh golongan, lapisan masyarakat, suku bangsa, ideologi, keyakinan dan agama.

Oleh karena itu, Pendidikan adalah sarana untuk mengeliminasi hal-hal buruk kehidupan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan spiritual sehingga kurikulum harus disusun berdasar nilai kehidupan bangsa yang menjadi jiwa bangsa untuk membangun bangsa, Gambar 26.

Curicullum Knowledge

Gambar 26: Source of Curicullum Knowledge

Dalam konteks Pembangunan Bangsa Indonesia, Sosial Action positif adalah output Pendidikan yang didisain untuk membentuk karakter bangsa sesuai dengan cita-cita dan jiwa serta pandangan hidup bangsa. Maka, Brameld tidak menolak sepenuhnya Existentialism dan Perennialism dan menempatkan Social Reconstructionism sebagai jawaban terhadap masalah di Amerika sekitar 1929-1933 yang tidak bisa dijawab oleh Perennialism, Existentialism, dan Progressivism.

Namun demikian, peranan lingkungan pendidikan anak juga bisa mempengaruhi perkembangan sosial anak atau social action menjadi negatif. Maka, peran guru di sekolah dan di rumah serta di lingkungan pendidikan sangat mempengaruhi. Dimana-mana ada Guru dan Guru ada dimana-mana agar perkembangan sosial anak positif.

  1. Antonio Gramsci (1891-1937)

Kehidupan Antonio Gramsci sebagai seorang politisi, penulis, ahli bahasa dipengaruhi oleh masa Risorgimento atau Penyatuan Italia dan periode trasformismo di Italy pada awal tahun 1900, yang dibidani oleh Count Camillo Cavour (1810–61) dan Giuseppe Garibaldi (1807–82) (Jones, 2006), bersamaan waktu dengan kebangkitan pergerakan kaum priyayi berpendidikan di Indonesia dan dimulai oleh dr Wahidin Soediro Husodo. Kumpulan tulisan Antonio Gramsci yang terkenal adalah Notebooks in Prison yang berisi berbagai pemikirannya.

Gramsci melihat dampak Risorgimentogala di Italy sebagai contoh sebuah kegagalan dimana partai moderat yang dipimpin oleh Count Camillo Cavour yang mewakili kelas khusus, yaitu kaum intelektual yang diambil dari kalangan pemilik tanah dan kalangan industri hanya memikirkan epentingan mereka sendiri. Di sisi yang lain, partai yang berlawanan juga tidak memperjuyangkan kepentingan petani sehingga land reform gagal dan dominasi terjadi. Fakta ini yang mengawali pemikiran Gramsci (Jones, 2006).

Maka, Gramsci mulai membuka kemungkinan bentuk-bentuk hubungan kultural yang lain untuk analisisnya. Dalam hal ini, Gramsci berpendapat bahwa budaya, politik, dan ekonomi terorganisasi dalam sebuah hubungan pertukaran mutual satu dengan yang lain, sebuah sirkulasi konstan dan mempengaruhi jaringan perubahan.

Gramsci melihat dampak Risorgimentogala di Italy sebagai contoh sebuah kegagalan dimana partai moderat yang dipimpin oleh Count Camillo Cavour yang mewakili kelas khusus, yaitu kaum intelektual yang diambil dari kalangan pemilik tanah dan kalangan industri hanya memikirkan epentingan mereka sendiri. Di sisi yang lain, partai yang berlawanan juga tidak memperjuyangkan kepentingan petani sehingga land reform gagal dan dominasi terjadi. Fakta ini yang mengawali pemikiran Gramsci (Jones, 2006).


Dalam hal ini, Gramsci melihat ekonomi sebagai penentu budaya dan politik. Proses ini disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni yang berproses secara dinamik untuk dibedakan dari dominasi. Hegemoni adalah kepemimpinan moral dan intelektual yang mengelola pandangan-pandangan dan aspirasi-aspirasi para pengikut mereka sebagai elemen aktif dalam program budaya dan politik. Dengan formasi ini maka usaha kesadaran kritis dibangun melalui kehidupan sehari-hari yaitu pemungsian sebuah masyarakat sipil (Jones, 2006).

Gramsci: Peranan Sentral Pendidikan

Menurut Gramsci, Pendidikan adalah pusat dalam formulasi konsep hegemoni. Jelas bahwa hegemoni berkaitan dengan sebuah situasi sosial dimana seluruh aspek realitas sosial didominasi oleh sebuah klas tunggal yang mendukung. Dalam konsep ini Pendidikan memiliki konteks dan konsepsi yang lebih luas dibanding isu-isu sekolah dan pendidikan formal sehingga Pendidikan adalah pusat kegiatan hegemoni dimana setiap jaringan hubungan adalah hubungan pedagogical. Maka, Pendidikan memegang peranan sentral dalam seluruh strategi untuk transformasi sosial karena setiap hubungan hegemoni adalah sebuah pendidikan (Gramsci, 2010).

Pemikiran Gramsci banyak mempengaruhi pendidikan di Jerman yang dinilai sebagai “relevance for social pedagogy, an important area of educational, social and cultural work throughout Germany”, juga di Brazil yang dinilai sebagai “very revealing and insightful piece on the subject” (Mayo, 2010).

Refleksi sosiologikal dalam pemikiran Gramsci ternyata lebih dalam dan rumit dari yang ditulis. Penciptaan kaum intelektual dari kelas pekerja pada akhirnya menjadi perhatiannya, dan kehidupannya memberi gambaran sejarah mengenai formasi intelektual yang dia maksud. Maka, penciptaan kaum intelektual dari kelas pekerja, yang kemudian disebut sebagai “organic intellectuals”adalah pemikiran fundamental Gramsci. Secara revolusionair, ini adalah perspektif dari struktur analisisnya. Mungkin, kalimat ini adalah bagian kunci dari analisisnya yang ditulis oleh Gramsci di Notebooks in Prisson (Smith & Hoare, 1999: pp 767-768) :

It was right to struggle against the old school, but reforming it was not so simple as it seemed. The problem was not one of model curricula but of men, and not just of the men who are actually teachers themselves but of the entire social complex which they express.”

Maka, Pendidikan dasar umum yang memberikan pendidikan budaya dan kemanusiaan akan menjadi benteng yang akan menjaga keseimbangan yang tepat antara pengembangan kapasitas untuk bekerja secara manual (secara teknis, industri) dan pengembangan kapasitas yang diperlukan untuk pekerjaan intelektual, (Smith & Hoare, 1999). Dalam hal ini, Gramsci menekankan arti penting penguasaan bahasa termasuk bahasa nasional karena bahasa berisi elemen-elemen sebuah konsepsi dunia dan budaya. Juga, Penguasaan kebudayaan dan pengetahuan sejarah sangat diperlukan dalam konteks konsepsi tersebut karena sejarah adalah mata rantai perkembangan peradaban manusia untuk membebaskan dirinya sendiri (Smith & Hoare, 1999).

Oleh karena itu, Seluruh proyek politik Gramsci tidak bisa diingkari adalah sebuahproyek pendidikan. Proses reformasi intelektual dan moral hanya dapat diprediksi melalui perluasan pandangan mengenai pendidikan dan itu berada di inti dari konsep Gramsci mengenai hegemoni.

  1. Paulo Freire (1921-1977)

Education and Conscientização (Freire, 1974)

Paulo Fraire adalah pendidik dan filsuf dari Brazil dimana pemikirannya mengenai pendidikan banyak dipengaruhi dualisme antara situasi kemiskinan petani dan buruh, dan penindasan dan yang ditindas di Brazil sejak great depression. Jadi sekitar era Count dan Barmeld di Amerika, Freire membedakan manusia dari binatang untuk menekankan kelebihan dan hakikat manusia untuk menjelaskan keutuhan manusia. Manusia hidup di dunia bersama dengan manusia lain dan memandang dunia itu sebagai realitas obyektif, secara independen dan mampu untuk mengetahui. Berbeda dengan binatang yang menceburkan dirinya kedalam realitas dan tidak dapat berelasi dengannya dan hanya beradaptasi sehingga disebut sebagai creature of mere contacts. Manusia berbeda dari binatang karena manusia bukan hanya di dunia tetapi berinteraksi bersama dunia.

Alam itu beragam secara alami, manusia berhubungan dengan keragaman lingkungannya dengan variasi keragaman yang besar ataupun bahkan dengan tantangan yang sama. Maka manusia tidak terbatas pada reaksi tantangan tertentu, maka hubungan manusia dengan alam bersifat plural secara alami. Manusia mengorganisasi dirinya untuk menghadapi tantangannya, memilih tanggapan yang terbaik, bertindak dan kemudian berubah terhadap aksi yang sangat reaktif. Mereka melakukan itu secara sadar sebagaimana seseorang menggunakan alat untuk menyelesaikan masalah.

Manusia berelasi dengan dunianya dengan cara yang kritis, mereka menangkap realitas data obyektif melalui refleksi, bukan dengan cara refleks seperti binatang melakukan. Dengan refleksi kritis melalui dimensi waktu tunggal manusia melihat kebelakang dan menemukan miliknya sementara, mengingat apa yang dilakukan hari ini untuk menyongsong hari esuk. Rentang waktu itu adalah temuan sejarah peradaban manusia dan itu tidak terjadi pada binatang.

Dalam hal ini, Freire membedakan antara integrasi dan adaptasi. Manusia berintegrasi dengan alam. Integrasi adalah buah dari kapasitas seseorang untuk beradaptasi dengan realitas ditambah dengan kapasitas kritikal untuk memilih dan mentransformasi ke realitas itu. Seseorang dikatakan tidak lagi terintegrasi bila dia sudah tidak mampu membuat keputusan sendiri dan keputusannya bukan lagi miliknya karena resep dari luar. Orang yang berintegrasi adalah orang sebagai subyek, sebaliknya orang yang beradaptasi adalah orang sebagai obyek. Inilah dasar dualitas Freire mengenai kemiskinan dan penindasan.

Adaptasi pada umumnya mencerminkan pertahanan diri yang lemah. Bila seseorang tidak mengubah realita maka ia akan menysuaikan diri. Adaptasi adalah karakteristik golongan binatang yang akan menyesuaikan dengan alam, berbeda dengan manusia yang berintegrasi dengan alam. Bila itu ditunjukkan oleh manusia maka itu adalah simptomatik dehumanisi diri manusia itu.

Sejarah peradaban manusia telah menunjukkan bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, memberi makna dalam kehidupan melalui kreasi dan rekreasi kesenian, budaya, dan ilmu pengetahuan. Setiap jaman selalu membawa perubahan dimana manusia memainkan peran hingga dunia terbagi-bagi dan muncul kekuatan sosial dalam bentuk ideologi atau iklan yang terorganisasi. Tragedi jaman, menurut Freire, terjadi ketika dominasi kekuatan membuat manusia semakin tidak berdaya dan elite kekuasaan yang berusaha untuk menolong mereka memberi resep yang membuat penerima resep semakin menjadi tidak jelas, tanpa harapan dan semangat, terjinakkan, dan pasrah.

Apabila manusia tidak merasakan secara kritis pemaknaan kehidupannya maka dia akan dibawa oleh gelombang perubahan. Mereka melihat perubahan tetapi mereka tidak merasakan perubahan. Akhirnya masyarakat berpindah dari satu jaman ke jaman lain tanpa dapat memahami kontradiksi yang terjadi dan terjerumus kedalam siklus sejarah budaya gelombang pasang. Kontradiksi semakin meningkat dalam cara menjadi, memahami, memiliki, dan menilai apa yang terjadi kemarin dan bagaimana akan terjadi besuk. Tidak semua transisi menghasilkan perubahan dan tidak semua perubahan terjadi dalam masa transisi.

Keyakinan Freire adalah bahwa manusia bukan hanya di dunia, namun juga berinteraksi dengan dunia. Humanisasi adalah tujuan memerdekakan manusia. Melalui kegiatan penciptaan dan penciptaan ulang manusia membuat realitas kultural. Freire juga meyakini bahwa relasi manusia dengan realita dieksperesikan sebagai subyek dengan obyek dan menghasilkan ilmu pengetahuan dimana manusia bisa mengekspresikannya dengan bahasa.

Relasi tersebut sangat jelas dan dibawakan oleh manusia apakah manusia itu terpelajar atau tidak. Cukup bagi seseorang untuk menerima data mengenai realita, bahkan bila pengetahuan itu hanya berupa opini. Tidak ada ketidaktahuan abosolut dan juga tidak ada kearifan absolut. Namun manusia tidak menerima data tersebut dalam bentuk murni. Ketika manusia menangkap sebuah fenomena atau menghadapi masalah maka mereka juga memahami relasi hubungannya.

Semakin akurat seseorang memahami kasualitas yang benar maka mereka akan semakin kritis untuk memahami realitas. Tingkat pemahaman mereka akan menjadi ukuran bagi derajat kegagalan untuk memahami realitas. Kesadaran kritis akan menyodorkan fakta untuk dianalisis. Apa yang benar sekarang, belum tentu benar besuk. Kesadaran naif melihat kasualitas sebagai statik, fakta yang sudah mapan, maka tertipu dalam persepsi.

Kesadaran kritis terpadu dengan realita dan mewakili segala sesuatu dan fakta sebagaimana mereka ada secara empirik dalam hubungan korelatif timbal balik. Kesadaran naif mempertimbangkan dirinya superior terhadap fakta-fakta dalam mengontrol fakta-fakta dan demikian bebas untuk memahaminya sebagaimana dikehendaki dan menenggelamkan dirinya terhadap fakta-fakta.

Menurut Freire, kesadaran kritis dibangun melalui dialog yang setara dan bukan bersifat hirarki. Sehingga, muncul hubungan timbal balik untuk saling memperkaya. Ibarat seorang pendidik berdiri di depan peserta didik dan bercerita atau membahas sesuatu yang berada di belakang pendidik. Maka, tentu si peserta didik tidak akan melihatnya.

Oleh karena itu, posisi itu harus diubah dimana pendidik berada di samping peserta didik dan membahas tentang segala sesuatu yang dilihat bersama. Dengan demikian si peserta didik akan menjadi subyek, bukan obyek, seperti premise Freire bahwa manusia adalah subyek di dunia ini dan berintegrasi dengan dunia ini untuk membangun dunia. 

Leave a Reply