Budaya dan Pedagogi Kritis di Indonesia

Pendidikan itu sifatnya hakiki bagi manusia sepanjang peradabannya seiring perubahan jaman dan berkaitan dengan usaha manusia untuk memerdekakan batin dan lahir sehingga manusia tidak tergantung kepada orang lain akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Oleh karena itu, kemerdekaan menjadi salah satu isu kritis dalam Pendidikan karena menyangkut usaha untuk memerdekakan hidup lahir dan hidup batin manusia agar manusia lebih menyadari kewajiban dan haknya sebagai bagian dari masyarakat sehingga tidak tergantung kepada orang lain dan bisa bersandar atas kekuatan sendiri. Dalam hal ini, Ki Sarmidi Mangun Sarkoro, mantan menteri Pendidikan setelah Ki Hadjar, berpendapat (Nugroho & Harmoko, 2000):

  1. Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari soal-soal hidup kemasyarakatan yang lain seperti masalah politik dan ekonomi. Kebudayaan daerah yang meninggalkan dasar hidup politik dan ekonomi daerah dan negara pada umumnya pasti akan bersifat kuno dan akan hilang dengan sendirinya.

  2. Pemerintah yang bersifat pemerintahan rakyat pasti menghendaki meratanya kemajuan di kalangan rakyat (demokrasi kebudayaan). hingga kebudayaan  itu menjadi milik rakyat (demokrasi rakyat)  dan bukan milik satu golong kecil yang berkuasa (kebudayaan feodal).

  1. Untuk mewujudkan tercapainya kebudayaan yang merata pada seluruh rakyat perlu diusahakan empat demokrasi di Indonesia , yaitu:

    1. Demokrasi Politik

    2. Demokrasi Ekonomi

    3. Demokrasi Sosial

    4. Demokrasi Keagamaan

  2. Kebudayaan yang berdasar demokrasi di segala bidang itulah kebudayaan yang merata, kebudayaan rakyat dalam arti yang sebenarnya.

  3. Yang menjadi pokok dalam persamaan budaya adalah setiap warga negara dapat mencapai satu tingkatan kemajuan yang memuat sadar akan kemanusiaannya dan kedudukannya sebagai wargan negara.

  4. Kebudayaan Indonesia pada hakekatnya merupakan resultante dari segala aliran politik dan kebudayaan pada masa lampau.

  5. Kebudayaan nasional mengandung dasar-dasar Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial, dan disinari oleh keluhuran perikemanusiaan.

  6. Sangat jelas bahwa kesenian adalah alat pendidikan, maka bekerjasama dengan lembaga kesenian adalah sebuah keharusan.

Menurut Tores (Torres, 2009), pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan dan nilai, maka pendidikan adalah sebuah upaya moral. Namun demikian, dalam masyarakat yang beragam, ini bukan berarti menyiratkan adanya moral yang bersifat absolut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip prosedural untuk berpikir dan bertindak secara etis. Dalam konteks pendidikan dan etika keadilan serta tanggung jawab individu, kepedulian adalah prinsip utama yang harus saling melengkapi.

Dalam hal ini, pedagogik kritis berbeda dari pedagogik tradisional dimana pedagogik kritis tidak terisolasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam era global village abad 21 ini, pedagogik kritis tidak terlepas dari perubahan global yang telah melahirkan berbagai masalah krusial dalam pendidikan seperti telah diprediksi oleh Toffler dan McLuhan serta dikritisi oleh para nobelist. Merurut Tilaar pedagogik kritis sbb. (Tilaar dan Paat, 2011):

  1. Pedagogik kritis hendaknya mengandung suatu kesaksian negatif tentang fakta pendidikan. Tujuannya bukan untuk meremehkan fakta yang tampak, namun sebagai fakta untuk analisis. Pedagogik kritis bukan pedagogik yang mencari-cari kesalahan atau kekurangan suatu kebijakan dalam praksis pendidikan, namun bertujuan untuk mencari jalan yang lebih baik dari praktik yang sedang berjalan.

  2. Pedagogik kritis tidak bisa hidup dalam masyarakat yang totaliter, sebaliknya pedagogik kritis dapat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang demokratis.

  3. Pemaparan kontradiksi perlu untuk menunjukkan kajian mendalam counter hegemony dengan menggunakan analisis strategi.

  4. Diperlukan strategi untuk menantang hegemoni yang asimetri.

  5. Perubahan sosial itu gradual.

Bangsa Indonesia kini tengah mengalami multikrisis. Tidak hanya krisis di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik, sosial, dan kultural. Juga bukan hanya potensi konflik ragional maupun global yang dihadapi , juga bentuk drug-war, bio-war, it-war, psy-war. Maka, sungguh tidak ringan tugas Pendidikan untuk menyiapkan warga sejati untuk menghadapi tantangan tantangan tersebut. Daoed Jusuf mengingatkan bahwa pembangunan sebuah bangsa bukan hanya membangun ekonomi (Joesoef, 2012). Oleh karena itu, pendidikan untuk menghasilkan output warga sejati adalah tantangan nyata pendidikan sejak dini sejak di nuclear family hingga mulai di sekolah dimana muara dari pendidikan adalah kerja, lihat Gambar 28.

Pendidikan, seperti dilakukan oleh Dr Wahidin Soedirohusodo pada 1900, adalah untuk mengembangkan human capability warga pribumi agar merdeka untuk membuat pilihan-pilihan yang mungkin dilakukan, termasuk untuk memerdekakan bangsanya sebagai sebuah kebutuhan. Maka, sesuai dengan Pestalozzi dimana ada higher nature dan sensual nature dalam diri manusia, pendidikan bertujuan untuk mengeliminasi sensual nature yang cenderung beraksi sosial negatif.

Sekolah, kerja, dan pengajaran

Gambar 28: Sekolah, Kerja, Pengangguran, dan tindak pidana

Oleh karena itu, seperti pesan Ki Hadjar Dewantara, di sekolah, pendidikan itu tidak pernah ditinggalkan atau direduksi menjadi pengajaran karena ada pesan luhur didalamnya dan harus disesuaikan dengan tahapan usia anak guna menghasilkan warga sejati yang akan menjadi the agent of change kelak menyelesaikan berbagai masalah bangsa dan bukan menjadi beban bangsa.

Salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia seperti tertuang dalam konstitusi adalah kesejahteraan, dalam artian lahir dan batin atau keseimbangan antara human well being dan economic well being. Pendidikan, melalui pembangunan manusia menjadi feeder bagi strategi dan kebijakan bidang lain seperti Pertahanan dan Keamanan, Ekonomi, dan Kesejahteraan. Oleh karena itu, pemikiran kritis terhadap Pendidikan Indonesia adalah sebuah kemutlakan seiring perkembangan peradaban Indonesia.   

Leave a Reply