Pendidikan Multikultural Melekat Dalam Pembelajaran dan Pendidikan di Indonesia Untuk Membangun Modal Sosial Bangsa

  1. Memaknai Globalisasi

Global adalah dunia, dengan demikian globalisasi adalah mendunia. Apa yang mendunia? Perkembangan peradaban umat manusia telah membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat dan menunjang inovasi teknologi yang membuat dunia ini seperti sebuah global village.

Pemicu pertama adalah Teknologi Transportasi sejak pesawat terbang ditemukan pertama kali hingga temuan berikutnya yang membuat manusia bisa bepergian dengan nyaman kemana saja kapan daja dimana saja tanpa sekat dan halangan ke seluruh tempat dan belahan dunia.

Pemicu ke dua adalah Teknologi Radio dan Televisi yang terus berkembang hingga sekarang dan membentruk Radio and Television Network dan memungkinkan manusia dibelahan bumi manapun melihat dan mendengar peristiwa yang sama dari belahan dunia yang lain. Ini juga ditunjang oleh kemajuan teknologi satelite yang mengorbit pada Clarcke orbit. Sekarang, orang di seluruh pelosok Nusanara bisa mendengar stasiun radio manapun berkat jaringan tersebut.

Pemicu ke tiga adalah Teknologi informasi yang diawali oleh temuan flip-flop teknologi digital yang kemudian berkembang hingga sekarang sehingga memungkinkan orang berkomunikasi dan bertransaksi data lewat internet. Melalui Internet, manusia mungkin melakukan Komunikasi, bahkan komunikasi multimedia, Discovery atau Penemuan lewat search engine seperti Google, dan Kolaborasi dengan Massenger. Maka, Teknologi ini memunculkan peradaban jaringan komunitas sosial baru seperti Twiter, Facebook. Bahkan radio di belahan dunia lain sekarang bisa didengan melalui Intternet dan juga video streaming mengebnai sebuah kejadian atau peristiwa di berbagai belahan dunia lain. Perkembangan teknologi tersebut membawa dampak ke bidang kehidupan lain seperti ekonomi dan politik serta budaya.

Di bidang ekonomi Indonesia sudah menandatangani AFTA Asean Free Trade Agreement yang efektif berlaku 2003 dan 2010 bertambah China sehingga menjadi CAFTA. Juga sudah bergabung dengan APEC Asia Pasific Economic Cooperation, yang tetrakhir adalah GATT-WTO General Agreement on traiff and Trade Eworld Trade Organization. Intinya adalah perdagangan bebas yang berbasis pada liberalism. Dengan demikian, pendidikan dianggap sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan, dan lalulintas pasar tenaga kerja bebas juga akan terjadi. Pertanyaan pertama adalah bagaimana Pendidikan memahami hal ini? Pertanyaan ke dua adalah bagaimana pendidikan harus menyiapkan peserta didik untuk menyiapkan diri?

Di bidang Politik tidak lepas dari bidang Ekonomi. Kepentingan politik adalah untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan. Pertanyaan pertama adalah apakah kesejahteraan itu merata bagi semua bansga atau hanya bagi mereka yang mampu bersaing dan menang bersaing sesuai denga paham neoliberalism yang jelas beerbeda dewngan paham NKRI? Pertanyaan ke dua adalah bagaimana pendidikan memandang fenomena ini dan bersikap ?

Di bidang Budaya jelas akan terjadi komunikasi budaya sebagai dampak dari semua perkembangan peradaban tersebut. Kritik telah diberikan oleh Pieters1 mengenai dampak globalisasi terhadap Budaya. Pertanyaan pertama adalah apakah budaya global akan menjadi homogen atau heterorogin dan mana lebih baik?, Pertanyaan kedua adalah bagaimana Pendidikan mengantisipasi hal ini ?

  1. Modal Sosial dan Modal Kultural

    Sebenarnya, isu multikultural setua peradaban umat manusia itu sendiri. Penyebaran dan perkembangan umat manusia di seluruh dunia memunculkan peradaban-peradaban baru yang terus berkembang secara dinamis. Konflik karena perkembangan peradaban dan budaya juga setua peradaban itu sendiri.

Pembenaran terhadap multiculturalism muncul dari kritik terhadap liberalisme dan merupakan etika individual dimana individu-individu bebas memilih2 dan bebas menentukan pilihan mengenai kehidupan yang baik bagi dirinya. Free to Choose ini telah mengantar Milton Friedman menerima hadiah nobel tahun 1976 di bidang ilmu ekonomi. Menurut Banks3, equality dan freedom adalah inti budaya USA telah dinyatakan dalam deklarasi kemerdekaan 1776.

Menurut Will Kymlika4, multiculturalism datang dari dalam liberalism yang bersumber pada nilai liberal yaitu autonomy dan equality. Warna filsafat Esentialism sangat kuat disini. Otonomi memungkinkan individu untuk bebas memilih, sedang budaya sebagai instrumen individu untuk self respect diritik oleh Kymlicka5 sebagai kemunafikan. Bagaimana mungkin seseorang self respect terhadap dirinya dan menjadi bagian dari budaya dimana dirinya berada.

Jadi, Multiculturalism Education, seperti pendapat Banks dan Kymlika, berawal dari sebuah masyarakat yang mempunyai belief dan values system tertentu. Ini tentu akan menjadi isu kritis manakala Multiculturalism Education diterapkan di negara lain yang memiliki belief dan values system berbeda, seperti Indonesia

Bagaimana di Indonesia ?

Indonesia terdiri dari berbagai bangsa yang terbangun secara beradab seiring dengan usia pedaban sejarah kemanusiaan yang berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Pendidikan Multi Kultural pertama tertuang dalam “pupuh” atau “kakawin” yaitu puisi tradisional Sutosoma6 karya Empu Tantular 130 bait 5 :

      Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Meskipun kakawin ini mengenai toleransi kehidupan masyarakat umat beragama Hindu dan Budha di abad 14, namun keduanya telah memberi gambaran mengenai bagaimana masyarakat yang tadinya saling berseteru karena perbedaan keyakinan bisa hidup rukun dan berdampingan di Nusantara. Juga bagaimana Tantular menyarankan kepada Gadjah Mada7 pada masa kejayaan Majapahit untuk menghormati masyarakat Samodra Pasai yang berbeda keyakinan. Juga pemahaman yang sama terhadap Hyang Tunggal atau the Supreme Being dibuat oleh Tantular dan Panuluh8. Artefak budaya itu masih hidup dinamis dalam pewayanganJawa dimana the Supreme Being disebut sebagai Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang.

Sampai sekarang, ketika ratusan suku bangsa hidup dinamis dan bekembang ditengah dinamika kehidupan modern, keragaman dari the heritage of Indonesia itu masih terlihat di berbagai pelosok Nusantara dan tersebar di berbagai pulau. Mereka adalah aset bangsa ini, cikal bakal bangsa, benih awal bangsa ini. Maka, hiruk pikuk dan debat di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia9 sebenarnya telah memberi gambaran mengenai bagaimana pertarungan kearifan filosofi dan ideologi untuk mendisain dan memunculkan karakteristik serta sistem nilai NKRI itu telah mencerminkan warisan luhur bangsa dalam memandang perbedaan. Seandainya saja pada saat itu hanay kepentingan kelompok dan golongan yang diutamakan maka NKRI mungkin tidak akan pernah ada. Itulah artefak sekaligus warisan luhur bangsa.

Pilihan Integralistik yang lebih dikenal sebagai Integralistik Soepomo dimana kewajiban sebagai bangsa lebih diutamakan untuk mewujudkan persatuan agar bangsa ini bisa living in harmony sebagai kehendak bersama. Jadi, living in harmony diwujudkan melalui semangat persatuan yang tertuang dalam sila ke tiga yaitu Persatuan indonesia. Disamping itu, living in harmony sebagai kehendak bersama itu juga menghendaki syarat Keadilan Sosial seperti tertuang dalam sila ke lima Pancasila yang telah disepakati bersama dan terutang dalam pembukaan UUD 1935. Jadi, ketika Pancasila dan UUD 1945 adalah Political Philosophy NKRI maka paham integralistik itu menjadi paham yang mendasari dan merupakan kewajiban. Pertanyaan kritis tentu muncul mengenai hak sebagai warga negara. Maka Pembukaan UIUD 1945, dimana Pancasila didalamnya, dituangkan kedalam batang tubuh 1945 dimana hak-hak dan kewajiban setiap warga negara diatur.

Disamping itu, filosofi dan ideologi bangsa yang menjelma kedalam konstitusi itu menjadi ciri bangsa dan sekaligus menjadi Political Philosophy. Penelitian Hofstede10 mengenai lima dimensi budaya di berbagai negara, termasuk Indonesia11, menunjukkan bahwa : Indonesiahas Power Distance (PDI) as its highest ranking Hofstede Dimension at 78. The average Power Distance for the greater Asian countries is 71. Artinya, ketidakseimbangan kekuasaan dan kesejahteraan dalam masyarakat cukup tinggi. Dalam kehidupan bermasyarakat, itu bukan berarti menjadi masalah namun cukup diterima di masyarakat sebagai bagian dari mereka dan cultural heritage. Snouck Hurgronye12 pernah melakukan pendekatan ini di Aceh.


The second highest Hofstede ranking for Indonesia is Uncertainty Avoidance (UAI) at 48, compared to the greater Asian average of 58 and a world average of 64. Semakin tinggi nilai UAI maka semakin rendah toleransi masyarakat. Jadi, masyarakat Indonesia dibanding rata-rata bangsa Asia dan dunia lebih toleran.

Indonesia has one of the lowest world rankings for Individualism (IDV) with a 14, compared to the greater Asian rank of 23, and world rank of 43. Angka tersebut menjelaskan Gambaran mengenai bangsa Indonesia yang lebih coletivistic bila dibanding individualistic. Ini menjelaskan mengapa paham integralistik Soepomo yang dipilih. Jadi, Hofstede menandai budaya bangsa Indonesia sangat toleran dan sangat kolektivisttik serta menghendaki semangat kebersamaan.

General Characteristics dan Significant Values pada High Context Macrosystem dalam model sistem ekologi perkembangan anak dan orang dewasa Uri Bronfenbrenner13 menjelaskan bagaimana ke dua parameter tersebut menjadi unsur dominan dalam budaya collective, toleransi, dan mudah menerima budaya asing.

Hall

In a 1983 essay Clifford Geertz14 points to the importance of gotong royong in Indonesian life:

An enormous inventory of highly specific and often quite intricate institutions for effecting the cooperation in work, politics, and personal relations alike, vaguely gathered under culturally charged and fairly well indefinable value-images–rukun (“mutual adjustment”), gotong royong (“joint bearing of burdens”), tolong-menolong (“reciprocal assistance”)–governs social interaction with a force as sovereign as it is subdued.

Anthropologist Robert A. Hahn15 writes:

Javanese culture is stratified by social class and by level of adherence to Islam. …Traditional Javanese culture does not emphasize material wealth. …There is respect for those who contribute to the general village welfare over personal gain. And the spirit of gotong royong, or volunteerism, is promoted as a cultural value.

Jadi, pendapat Clifford Geertz dan Robert A. Hahn, yang membahas Socio Democracy Soekarno yang dikatakan bukan sebagai demokrasi ala barat namun mutual adjustment, join bearing of burden, voluntarism dan the Spirit of “Gotong Royong” sebagai cultural value, semakin menjelaskan hubungan antara budaya toleran dan kolektivitistik Hofstede dengan penilaian Clifford Geertz dan Robert A Hahn serta Urie Brofnenebefnner mengenai nilai Gotong Royong dalam Pancasila sebagai Political Philosophy. Tampak pengaruh filsafat Idealism disini.

Oleh karena itu, Political Philosophy NKRI itu sebenarnya merupakan Value System bangsa Indonesia yang sering dikatakan sebagai kristalisasi nilai-nilai bangsa , The Way of Life bangsa Indonesia dimana living in harmony, diversity within unity adalah ciri yang bisa dilihat dan ditandai dan berasal dari kehendak diri untuk bersama-sama mewujudkannya karena semangat Gotong Royong. Bangsa ini telah memulai berpikir mengenai hidup rukun, paling sedikit seperti dalam kakawin Sutosoma, sejak abad ke delapan. Dengan demikian, sebenarnya bangsa ini sudah mempunyai modal sosial dan modal kultural sebagai barrier to entry bagi dampak globalisasi. Jadi, living in harmony itu adalah kehendak yang merupakan kesadaran bersama jiwa dan pikiran kolektif bangsa. Semangat Gotong Royong itu menghendaki pengembangan kapasitas sosial dan kapasitas emosianal bangsa yang disemai melalui Pendidikan sebagai estafet peradaban antar generasi memegang peranan sangat menentukan dalam memeliharan dan melestarikan sistem nilai bangsa yang berdasar konstituasi.

 

  1. Social Reconstructionism

Dari berbagai teori Pendidikan yang ada, maka Social ReconstructrionsmTheory adalah sebuah pilihan yang kontekstual bagi Pendidikan Bangsa Indonesia , melihat masalah dan tantangan yang sedang dihadapi oleh Bangsa saat ini, yaitu dampak globalisasi. Sebenarnya, penerapan teori ini bukan barang baru bagi bangsa ini. Paling tidak, sebelum Dewey dkk memulai metapisik Club di Harvard yang kemudian melahirkan Pragmatism16, Ki Hadjar Dewantara telah memulai sejak 1922 dengan Taman Siswa yang menjadi sarana beliau untuk mewujudkan impian dan gagasan-gagasan beliau untuk menyiapkan pemimpin masa depan guna melawan penindasan penjajah.

Social Reconstructionism adalah satu dari empat teori pendidikan17 dan berhulu ke filosofi Pragmatism yang mulai berkembang sejak 1870 di USA dan dimulai oleh pemikiran-pemikiran Charles Sanders Peirce (1839–1914), William James (1842–1910), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863 – 1931), dan Chaunchey Wirght (1830 – 1875). Istilah Pragmatism pertama kali dijumpai tahun 189818 Pragmatism, mengkritik Idealism dan Realism, dan percaya bahwa realitas itu selalu berubah sehingga Social Reconstruionism melihat bahwa sekolah sebagai lembaga sosial adalah tempat untuk mengembangkan daya kritis siswa untuk melihat masalah-maslah sosial disekitarnya.

Pragmatism philosophy19.

Metaphysics : realitas adalah interaksi antara individu dengan lingkungannya atau pengalamannya sehingga selalu membuatnya berubah.

Epistemology : Mengetahuii adalah hasil dari pengalaman yang menggunakan pendekatan ilmiah

Axiology : Sistem nilai bersifat situasional dan relatif

Selanjutnya, mengenai Pragmatism dan Pendidikan, menurut Kneller20,,

  • Anak adalah natural learner, karena secara natural dia akan selalu ingin tahu.

  • Perubahan adalah esensi realitas

  • Tujuan dan cara pendidikan harus luwes dan terbuka untuk revisi karea perubahan lingkungan

  • Tujuan da cara pendidikan harus dicapai dengan cara rasional dan ilmiah

  • Pendidikan adalah cara dan sekaligus tujuan

  • Sifat dasar manusia itu mudah berubah dan lentur

  • Anak adalah organisme aktif yang terus menerus sibuk untuk merekonstruksi dan menginterpretasi pengalamannya

  • Pikiran akan selalau aktif dan melakukan eksplorasi

  • Pengetahuan dihasilkan oleh “transaksi” antara manusia dengan lingkungannya

  • Kebenaran adalah properti dari pengetahuan

  • Peran Guru adalah mengkonstruksi situasi-stuasi pembelajaran disekitar masalah.

Yang terakhir, mengenai kredo Dewey21 salah satu tokoh Pragmatism tentang Pengetahuan dan Pendidikan,

  • Pendidikan dijalankan oleh partisipasi individu dalam kesadaran sosialnya.

  • Pendidikan yang benar hanya mungkin berjalan karena keinginan anak untuk mengartikulasi lingkungan sosialnya dimana dia menemukan dirinya.

  • Pendidikan mempunyai dua sisi yaitu sisi psikologis dan sisi sosial.

  • Pengetahuan mengenai kondisi-kondisi sosial dan peradabanya diperlukan agar secara tepat bisa menerjemahkan potensi anak.

  • Sisi pesikologis dan sosial selalau berhubungan namun tidak boleh dalam pendidkan salah satu mendominasim yang lain. Keduanya harus berjalan seiring.

Sedang mengenai Sekolah , keyakinan Dewey22 adalah,

  • Sekolah terutama adalah institusi sosial

  • Pendidikan adalah proses berkehidupan dan bukan persiapan untuk menyiapkan khidupan yang akan datang

  • Sekolah harus mencerminkan kehidupan saat ini yaitu kehidupan nyata yang akan dijumpai di keluarga, lingkungan, dan permainannya.

  • Pendidikan yang tidak terjadi melalui bentuk-bentuk kehidupan , bentuk-bentuk kehidupan yang berharga dalam kehidupannya, adalah pendidikan yang akan membawa kehancuran masyarakat.

  • Sekolah sebagai sebuah institusi sosial hendaknya menyederhanakan atau memodel kehidupan sosial yang ada sehingga bisa menjadi bentuk-bentuk yang bisa disemai.

  • Sebagai penyerdahaan kehidupan di sekolah sekolah, maka sekolah harus menjadi kepanjangan kehidupan di rumah.

  • Banyak edukasi saat ini gagal karena mengabaikan perinsip-prinsop fundamental sekolah sebagai bentuk kehidupan masyarakat’

  • Psikologi adalah penting karena menyangkur perkembangan anak

  • Sosial penting karena rumah adalah bentuk khidupan sosial

  • Pusat pendidikan moral adalah model kehidupan sosial sebagai konsepsi sekolah terbaik.

  • Stimilasi dan pengendalian anak dilakukan dalam kehidupan sosial masyarakat

Tujuan Social Reconstrustionsm

Seperti halnya filosofi yang menjadi hulunya, Social Reconstructionists melihat bahwa perkembangan peradaban dalam dimensi waktu Chronosytem Urie Brefenenbrofner23 mempengaruhi lingkungan perkembangan anak secara ekologis sejak Microsystem hingga Macrosystem. Oleh karena itu Social Reconstructionists percaya bahwa24:

  • Pendidikan didisain untuk membangkitkan kesadaran siswa mengenai masalah-masalah sosial dilingkungannya dan terlibat secara aktif untuk ikut mencari jalan keluarnya.

  • Pendidikan didisain untuk membangkitkan kesadaran siswa agar siswa menjadi kritis dan bertanya mengenai status quo dan untuk menginvestigasi isu-isu kontroversial di bidang agama, politk, ekonomi, pendidikan.

  • Sekolah sebagai agen sosial adlah lembaga dimana saran-saran baru untuk mengubah masyarakat didorong dan diutamakan buykan melulu sebagai sebuah latihan intelektual.

Dalam konteks pembangunan Modal Sosial dan Modal Kultural bangsa, Pendidikan NKRI itu konsisten dengan Political Philosophy beda dari pendidikan pada umumnya meskipun filsafat ilmu pendidikan formal dan materialnya sama., yaitu mengembangkan peserta didik sesuai dengan:


Kodrat Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan

 Lima tujuan ini secara simultan akan mengembangkan kapasitas sosial dan kapasitas emosional peserta didik melalui Olah Rasa, Olah Hati, Olah Pikir, dan Olah Raga. Empat olah ini menegmbangkan peserta didik sesuai dengan Kodrat Alamnya, untuk mengembangkan kemerdekaan Pribadinya, untuk mengembangkan dan melsetarikan Kebudayaan, untuk memupuk semangat Kebangsaan, dan untuk mengembangkan kepekaan rasa kemanusiaan agar semakin mansuiawi..

Sebelum UU Pendidikan keluar, yaitu setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, rumusan tujuan pendidikan menurut Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara dengan penulis Soegarda Poerbakawatja adalah: 


Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.”

Pengertian “warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K pada tahun 1946, yaitu:

  1. Berbakti kepada Tuhan YME.

  2. Cinta kepada alam.

  3. Cinta kepada negara.

  4. Cinta dan hormat kepada ibu-bapak.

  5. Cinta kepada bangsa dan kebudayaan.

  6. Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya.

  7. Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat.

  8. Patuh pada peraturan dan ketertiban.

  9. Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas dasar keadilan.

  10. Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam pikiran maupun tindakan.

 Semangat ini telah luntur karena perubahan politik yang mengubah paradigma bangsa, maka mengembalikan pendidikan untuk memabngun kapasitas sosial dan kultural bangsa perlu kembali ke paradigma lama.

Tantangan Social Reconstrustionsm untuk NKRI

Saat ini, NKRI dihadapkan oleh masalah sosial yang luar biasa seperti kehilangan sense of Identity, kehilangan sense of Humanity, kehilangan sense of Values. Itu semua berkaitan dengan Pendidikan. Apabila meminjam Tri Sakti Soekarno yaitu Berdikari dalam Ekonomi, Berdaulat di bidang Politik, dan Berkepribadian di bidang Budaya, maka kita sebagai sebuah bangsa telah kehilangan Kepribadian.

Maka, pertanyaan pendidikan untuk membangun Bangsa atau Negara menjadi jelas jawabnya dengan filosofi Pragmatism dan teori pendidikan Social Reconstructianism. Ketika Pendidikan selalu berkaitan dengan dua kata suci yaitu Mengajar dan Belajar, dimana ada insan yang mengajar dan insan yang belajar, dan Pendidikan adalah sarana untuk menjadi estafet peradaban antar generasi sebuah bangsa, maka jawabnya sangat jelas yaitu Pendidikan untuk membangun Bangsa. Negara dibangun diatas fondasi bangsa yang kuat.

Apa yang sekarang menjadi kebijakan kemendiknas seperti Kantin Kejujuran, Multikultarisme, Karakter Bangsa, dll yang membebani sekolah sebenarnya harus menjadi bagian integral dari Values Ecological System-nya Urie sejak dari Microsystem hingga Macrosystem. Sangat jelas bahwa NKRI adalah High Context Macrosystem. Maka, Penanaman Values itu bagian dari Capacity Building yang menyangkut bukan hanya Intellectual capacity tetapi juga Emotional dan Social Capacity. Sangat jelas pula bahwa lingkungan pendidikan yang inklusif harus menjadi ciri dari pendidikan NKRI guna membangun Values of The Nation. Di sisi yang lain, High Context Macrosystem Urie itu terasa benar nuansa filsafat idealisme Plato.

Belajar Dari PendidikanAncient Greece25

Ada dua negara di Greece, yaitu Sparta dan Athens. Kedua negara ini sangat berbeda dalam pendidikan dan sekolah anak-anak mereka. Di Sparta, seluruh sekolah adalah sekolah negeri, tidak ada sekolah swasta. Sekolah dasar sangat kasar dimana anak Sparta usia 6 tahun dikirim ke boarding school dimana Science dan Matematika bukan merupakan subjek yang penting karena anak-anak bisa belajar sehabis sekolah. Mereka diajarkan untuk mematuhi segala perintah dan tidak boleh menunjukkan kelemahan atau kesakitan selama proses yang keras disekolah. Guru mempersiapkan mereka menjadi prajurit yang baik. Sementara itu, putri-putri Sparta tidak ke sekolah namun mengiktui ibunya untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga.

AthensDi Athens, sebaliknya sangat berbeda persekolahan di Sparta. Siswa mulai sekolah pada usia 7 tahun. Dari lima abad sebelum masehi, seluruh sekolah adalah swasta dengan siswa sekitar 10 sampai 15 siswa dan hanya orang kaya yang bisa sekolah dimana Guru adalah pemilik sekolah yang menarik pembayaran dari siswa sangat mahal. Satu abad kemudian, sekolah negeri mulai dibuka untuk mereka yang tidak mampu. Kepada mereka diajarkan untuk membaca, menulis, pendidikan jasmani, dan musik oleh guru-guru yang berbeda. Penddikan menyangkut jiwa, raga, dan imajinasi26. Tidak banyak waktu bagi mereka untuk belajar Matematika dimana matematika dipelajari dengan mempraktekannya di atas kayu yang dilapisi parafin dengam cara menggoresnya dengan stylus. Setelah siswa belajar membaca dan menulis mereka harus belajar karya-karya sastra Yunani serta sejarah-sejarah terkenal Yunani. Juga setiap siswa harus bisa memainkan instrumen populer Yunani yaitu Lyre dan Flute. Latihan pisik meliputi gulat dan pendidikan jasmani. Tujuan sekolah di Athens adalah Character Building27untuk menghadirkan orang yang bijaksana dan bermartabat. Bukan hanyagood soldier seperti Sparta. Mungkin karena mereka anti perang dan kekerasan, atau juga mungkin mereka sudah bosan dengan perang dan kekerasan dan ingin mengubah masa depan bangsanya melalui pendidikan. Anak-anak putri Athens tidak pergi ke sekolah, mereka melakukan pekerjaan rumah membantu ibu mereka yang mengajari mereka sesuai dengan kebutuhan mereka saat nanti memerrankan perannya di keluarga.

Menurut Plato28, pendidikan jiwa, raga, estetika akan membuat siswa laki-laki akan semakin belajar lebih jantan , lebih perasa dan peka terhadap situasi, lebih berharmoni, dan lebih menyatunya satunya kata dan tindakan. Dalam kehidupan laki-laki, setiap bagian membutuhkan harmoni dan keteraturan. Karakter bukan buku pelajaran tetapi objek utama pendidikan bangsa Yunani-Atena

IV. RFELEKSI

Pesan pendidikan yang bisa dipelajari dari Pendidikan Ancient Greece adalah bahwa model pendidikan bangsa Yuniani-Athens berbeda dari Yunani-Sparta sehingga bisa menghasilkan output pendidikan filsuf-silfuf dan pemikir-pemikir besar Yunani, keindahan artefak-artefak Yunani kuno yang luar biasa seperti The Phanteon29. Pendidikan Ynani-Athens yang berbeda dari Yunani Sparta tela membuktikan bagaimana hasilnya. Demikian pula dengan pendidikan untuk membangun bangsa ini.

Hal yang sama sebenarnya terjadi saat ini dimana bangsa ini sekarang sedang berada dalam pusaran paradigma neoliberalism yang bertentangan dengan paradigma bangsa. Penajajahan itu bukan lagi pisik tetapi non pisik, bukan saja penjarahan kekayaan alam yang dilegalkan oleh UU, namun juga penjajahan pikiran dan gagasan melalui kepemilikan dan pendidikan. Sampai tahun 2009 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan 58 UU dari 108 yang diajukan untuk diuji30, termasu UU BHP yang menghebohkan itu.

Disamping penindasasan dan penjahaan oleh paham neoliberaisme itu , fenomena maraknya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan obat-obatan, rakyat kecil yang semakin termarjinalkan padahal jumlah mereka sekitar 60% dan tinggal di sektor pedesaan dan pertanian, pendidikan yang semakin elitis, negara yang semakin tidak mampu menyediakan lapangan kerja dengan demikian banyak korba TKI di luar negeri, baik yang meninggal, melahirkan, cacad seumur hidp, atau terlantar menjadi nisata di kolong jembatan Kendara, birokrat yang semakin menjadi kepanjangan tangan penguasa untuk menindas rakyatnya dan bukan memberdayakan, oligarki partai yang menentukan arah dan masa depan bangsa berdasar kepentingan sempit dan golongan, dan berbagai kemunafikan serta kebohongan yang demikian vulgar dipertontonkan di pangung politik nasional jelas mengundang kehadiran dan kelahiran kaum social reconsturctionists untuk memperbaiki. Para Social Reconcstructionists itu adalah para Pendidik.

Oleh karena itu, Nation and Character Building Bangsa ini, bila ingin kembali ke jati diri bangsa, membangun barrier to entry atas dampak Globalisasi, harus dilanjutkan melalui satu-satunya dan hanya satu-satunya cara yaitu melalui Pendidikan. Maka, Pendidikan harus dikembalikan kepada peranannya dalam membangun bangsa, bukan direduksi menjadi persekolahan dimana tujuan Pendidikan31 adalah bagian dafri pembangunan Budaya , Pembangunan Sosial, Pembangunan Karakater Bangsa, dan Pembangunan Agama. Harus dibalik, Pembangunan Sosial, Budaya, Karakter Bangsa dan Agama adalah bagian dari Pembangunan Pendidikan Bangsa. Maka, Kebudayaan harus dikembalikan satu atap dengan Pendidikan seperti pada awal Kemerdekaan NKRI dengan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan hanya itu syarat lain yang dibtuuhkan adalah Pembangunan Politik dan Ekonomi harus berdasar koridor Konstitusi. Pendidikan , Ekonomi, dan Politik adalah bagian integral yang seccara sinergis membangu bangsa Indonesia,

V. PENUTUP

Sebagai penutup, dua paragraf kuliah umum Obama di UI, yang pernah tinggal di Indonesia dan mengenyam pendidikan di Indonesia layak dan pantas untuk di quote sebagai sebuah refleksi pendidikan bangsa:

But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia — that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in mosques and churches and temples standing alongside each other; that spirit that’s embodied in your people — that still lives on. Bhinneka Tunggal Ika — unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important part in the 21st century”.

These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta I once knew — technology and trade and the flow of people and goods — can translate into a better life for all Indonesians, for all human beings, a life marked by dignity and opportunity. Now, this kind of development is inseparable from the role of democracy”.

DAFTAR ACUAN

  1. Pieters Nederveen Jan, Globalization and Culture, Rowman and Littelefield Publisher Inc., 2004

  2. Milton & Rose Friedman, Free to Choose, Harcourt Inc., 1980

  3. Banks A. James & Cherry A. McGee, Multi Cultural Education, John E. Wiley 2003.

  4. Kymlicka, W. 1989, Liberalism, Community, and Culture, Oxford: Oxford University Press

  5. Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford University Press 1995

  6. Kymlicka,, Politics in the Vernacular: Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship, Oxford University Press. 2001

  7. Song, Sarah, “Multiculturalism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2010 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/multiculturalism/

  8. Santoso, Soewito Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana 1975:578. New Delhi: International Academy of Culture

  9. Bhre Tandes, Gadjah Mada, Gramedia Pustaka utama, 2007.

  10. Sekretariat negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, edisi 3, 1995.

  11. Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations Across Nations, 2nd ed., Sage Pub., 2001

  12. Geert Hofstede, Geert Hofstede Analysis Indonesia, http://www.cyborlink.com/besite/indonesia.htm

  13. Wikipedia, Christiaan Snouck Hurgronje, http://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje

  14. Bronfenbrenner Uri, the Ecology of Human Development, Harvard University Press 1979

  15. Geertz, Clifford. Local Knowledge: Fact and Law in Comparative Perspective, pp. 167-234 in Geertz Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology, NY: Basic Books. 1983.

  16. Geert Hofstede, Geert Hofstede Analysis Indonesia, http://www.cyborlink.com/besite/indonesia.htm

  17. Hahn, Robert A. Anthropology in Public Health: Bridging Differences in Culture and Society Oxford, UK: Oxford University Press. 1999

  18. Hookway, Christopher, “Pragmatism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2010 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/spr2010/entries/pragmatism/>.

  19. Ornstein et.al., An Introduction to the Foundation of Education, Houghtono., Boston 1985,

  20. James, William (1898), “Philosophical Conceptions and Practical Results“, University Chronicle, Vol 1 No. 4,September 1898, http://www.archive.org/stream/philosophicalcon00jameuoft#page/n4/mode/1up

  21. Knerller George, Introduction to te philosophy of education, 2nd ed., Wiley 1971

  22. Dewey John, My Pedagogic Creed, School Journal vol. 54 (January 1897),

  23. Urie Bronfenbrenner.‎ (1979). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. CambridgMandy Barrow, The Ancient Greece, http://www.woodlands-junior.kent.sch.uk/Homework/greece/schools.htm;

  24. Discover Channel, Ancient Greece, http://www.yourdiscovery.com/greece/education/index.shtml

  25. Wikipedia, Education in ancient Greece, http://en.wikipedia.org/wiki/Education_in_ancient_Greece

  26. Oracle Think Quest, Elementry School Through Ages, http://library.thinkquest.org/J002606/HomePage.html MA: Harvard University Press. ISBN 0-674-22457-4 dalam Berns M. Roberta, Child, Family, Community, School, Community, 6th ed., Thompson 2004

  27. Mavrogenes, “Reading in Ancient Greece,” Journal of Reading 23, no.8 (May 1980):

  28. Michael Lahanas, Education in Ancient Greece, http://www.mlahanas.de/Greeks/EducationAncientGreece.htm

  29. Greece Index, Education In Ancient Greece, http://www.greeceindex.com/greece-education/greek_education_ancient_greece.html

  30. Parker Freda, The Pantheon Rome 126 AD, Monolithic, http://www.monolithic.com/stories/the-pantheon-rome-126-ad ; Archiplanet, Pantheon, http://www.greatbuildings.com/buildings/Pantheon.html ; Wikipedia, Pantheon, Rome, http://en.wikipedia.org/wiki/Pantheon,_Rome

  31. Bataviase, Hingga Akhir Tahun 2009, MK Batalkan 58 UU, <http://bataviase.co.id/node/105320

  32. Buku I, II. III, RPJPN 2005-2025; RPJPPN Kemediknas 2010-2014.

DAFTAR BACAAN

  1. Tri Pranadji , PENGUATAN KELEMBAGAAN GOTONG ROYONG DALAM PERSPEKTIF SOSIO BUDAYA BANGSA : Suatu Upaya Revitalisasi Adat Istiadat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan , FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 61- 72, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian , Jl. A. Yani 70 Bogor, 16161

  2. Edna C Pattisina, Mari Katong Bersaudara!, http://www.oocities.com/lokkie2005/kcm130306.htm

  3. eMpu Ganteng, Kakawin Negara Kertagama, Desember 14, 2009, http://negara.kertagama.com/2009.12.14-terjemahan/kakawin-negara-kertagama

  4. The Center for Research on Developmental Education and Urban Literacy , Multiculturalism in Developmental Educational, University of Minnesota, Minneapolis, MN. 2003

  5. Cungki Kusdarjito , MEMBANGUN MASYARAKAT YANG MEMILIKI MUTUAL TRUST MELALUI MODEL KEPEMIMPINAN BERBASIS BUDAYA INDONESIA , Ary Suta center 2008.

  6. Greg Richards , The European Cultural Capital Event: Strategic Weapon in the Cultural Arms Race? , Journal of Cultural Policy 6(2), 159-181.

  7. Jan Fidrmuc and Klarita Gërxhani , Mind the Gap! Social Capital, East and West , JEL codes: Z13, P36, O57, O17 , University of Amsterdam, Faculty of Social and Behavioural Sciences; Amsterdam Institute for Advanced Labour Studies; Faculty of Economics and Econometrics; and Tinbergen Institute the Netherlands.

  8. J. Huang, H. Maassen van den Brink And W. Groot, A Meta-Analysis of the Effect of Education on Social Capital , Tier Working Paper Series Tier WP 10/09

  9. Marx and Engels, On Freedom of The Press, Written: May 1842 First Published: May, 1842, in the Rheinische Zeitung Translated: from the German Transcription/Markup: Zodiac, Brian Basgen and Sally Ryan Online Version: Marx/Engels Internet Archive (marxists.org) 1996, 2000

  10. Prudence L. Carter, “Black” Cultural Capital, Status Positioning, and Schooling Conflicts for Low-Income African American Youth , SOCIAL PROBLEMS, Vol. 50, No. 1, pages 136–155. ISSN: 0037-7791; online ISSN: 1533-8533 © 2003 by Society for the Study of Social Problems, Inc. All rights reserved. Send requests for permission to reprint to: Rights and Permissions, University of California Press, Journals Division, 2000 Center St., Ste. 303, Berkeley, CA 94704-1223.

  11. Francisco Pérez García , Lorenzo Serrano Martínez, Vicente Montesinos Santalucía , Juan Fernández de Guevara Radoselovics , Measurement of Social Capital and Growth – an Economic Methodlogy, Fundación BBVA. Plaza de San Nicolás, 4. 48005 Bilbao , 2006

  12. SUE KILPATRICK, JOHN FIELD, IAN FALK, Social Capital: an analytical tool for exploring lifelong learning and community development , British Educational Research Journal, Vol. 29, No. 3, 2003

  13. Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, Bourdieu, P. (1986) The forms of capital. In J. Richardson (Ed.) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (New York, Greenwood), 241-258.

  14. Song, Sarah, “Multiculturalism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2010 Edition), Edward N. Zalta (ed.), http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/multiculturalism

  15. Olaniyan. D.A and Okemakinde. T, Human Capital Theory: Implications for Educational Development , European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.24 No.2 (2008), pp.157-162 .

1Pieters Nederveen Jan, Globalization and Culture, Rowman and Littelefield Publisher Inc., 2004

2Milton & Rose Friedman, Free to Choose, Harcourt Inc., 1980,

3 Banks A. James & Cherry A. McGee, Multi Cultural Education, John E. Wiley 2003.

4Kymlicka, W. 1989, Liberalism, Community, and Culture, Oxford: Oxford University Press; Kymlicka 1995, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, Oxford: Oxford University Press; Kymlicka, W, Politics in the Vernacular: Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship, Oxford: Oxford University Press. 2001,

5Song, Sarah, “Multiculturalism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2010 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/win2010/entries/multiculturalism/>. On line 01/04/11

6Santoso, Soewito Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana 1975:578. New Delhi: International Academy of Culture

7Bhre Tandes, Gadjah Mada, Gramedia Pustaka utama, 2007.

8Ibid.

9 Sekretariat negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, edisi 3, 1995.

10Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations Across Nations, 2nd ed., Sage Pub., 2001

11Geert Hofstede, Geert Hofstede Analysis Indonesia, on line 12/18/10, http://www.cyborlink.com/besite/indonesia.htm

12 Wikipedia, Christiaan Snouck Hurgronje, http://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje on line 12/18/10,

13Bronfenbrenner Uri, the Ecology of Human Development, Harvard University Press 1979.

14Geertz, Clifford. Local Knowledge: Fact and Law in Comparative Perspective, pp. 167-234 in Geertz Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology, NY: Basic Books. 1983.

15Hahn, Robert A. Anthropology in Public Health: Bridging Differences in Culture and Society Oxford, UK: Oxford University Press. 1999

16Hookway, Christopher, “Pragmatism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2010 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <http://plato.stanford.edu/archives/spr2010/entries/pragmatism/>. On line 01/05/11

17Ornstein et.al., An Introduction to the Foundation of Education, Houghtono., Boston 1985, pp 193-207

18James, William (1898), “Philosophical Conceptions and Practical Results”, University Chronicle, Vol 1 No. 4, September 1898, on line 12/06/10, http://www.archive.org/stream/philosophicalcon00jameuoft#page/n4/mode/1up

19Ornstein et.al. Log.cit

20Knerller George, Introduction to te philosophy of education, 2nd ed., Wiley 1971, pp 13-15, 25-31

21Dewey John, My Pedagogic Creed, School Journal vol. 54 (January 1897), pp. 77-80

22Ibid

23Urie Bronfenbrenner.‎ (1979). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. Cambridge, MA: Harvard University Press. ISBN 0-674-22457-4 dalam Berns M. Roberta, Child, Family, Community, School, Community, 6th ed., Thompson 2004

24Ornstein, Allen C, Levine, Daniel U, An Introduction to the Foundations of Education, Boston, Houghton Miffin Co. pp 187

25Mandy Barrow, The Ancient Greece, http://www.woodlands-junior.kent.sch.uk/Homework/greece/schools.htm; Discover Channel, Ancient Greece, http://www.yourdiscovery.com/greece/education/index.shtml ; Wikipedia, Education in ancient Greece, http://en.wikipedia.org/wiki/Education_in_ancient_Greece; Oracle Think Quest, Elementry School Through Ages, http://library.thinkquest.org/J002606/HomePage.html , on line 01/23/11

26Mavrogenes, “Reading in Ancient Greece,” Journal of Reading 23, no.8 (May 1980): 692.

27Michael Lahanas, Education in Ancient Greece, http://www.mlahanas.de/Greeks/EducationAncientGreece.htm, on line 01/23/11

28Greece Index, Education In Ancient Greece, http://www.greeceindex.com/greece-education/greek_education_ancient_greece.html , on line 01/23/11

29Parker Freda, The Pantheon Rome 126 AD, Monolithic, http://www.monolithic.com/stories/the-pantheon-rome-126-ad ; Archiplanet, Pantheon, http://www.greatbuildings.com/buildings/Pantheon.html ; Wikipedia, Pantheon, Rome, http://en.wikipedia.org/wiki/Pantheon,_Rome , on line 01/26/11

30Bataviase, Hingga Akhir Tahun 2009, MK Batalkan 58 UU, <http://bataviase.co.id/node/105320>, On line 01/05/11

31Buku I, II. III, RPJPN 2005-2025; RPJPPN Kemediknas 2010-2014.