Realita Plutokrasi Global di Indonesia

  1. Realita Plutokrasi Global Di Indonesia

Di Indonesia ada 40 orang dari 237 juta penduduk, atau 0.000016878%, menguasai 38% kekayaan total Indonesia (Forbes, November 18, 2011). Meskipun terjadi volatilitas global, namun Indonesia dengan 70% GDP berasal dari domestic economy, tetap berkembang dengan 6% tahun 2011, stock market naik 3% sehingga mendorong kombinasi kekayaan ke 40 orang tersebut dengan 19% ke $85.1 billion (Forbes, November 23 2011). Pasar modal nasional sungguh sangat membantu para orang kaya tersebut melipatgandakan kekayaan mereka.

Gambaran distribusi kekayaan Global tersebut tercermin pula di distribusi kekayaan Indonesia dimana 25% penduduk atau 59 juta penduduk memiliki kekayaan kurang dari US $ 1,000 yang sangat dekat dengan gambaran 26% penduduk Global dan agak sedikit berbeda dengan 2% orang Indonesia yang memiliki kekayaan diatas US $ 100,000 dibanding 8% dari keseluruhan penduduk dunia (Credit Suisse, 2010). Peningkatan kekayaan individu di Indonesia itu diatas beberapa negara Asia seperti Singapore, dll., (Credit Suisse, October 2011). Selama 11 tahun terjadi peningkatan dari US $ 2,000 menjadi US $ 12,000 atau rata-rata mendekati US $ 1,000 per tahun. Sebagai misal, Djoko Susanto yang mulai dari usaha pengelolaan pasar tradisional Arjuna di Jakarta adalah contoh bagaimana tali-temali sistem keuangan dengan partnership Sampoerna itu bisa membuatnya menjadi salah satu debutan baru tycoon Indonesia dengan 5500 stores dan 57000 karyawan (Forbes, December 05, 2011).

Di sisi yang lain, Indonesia dibangun berdasar konstitusi dimana pembangunan ekonomi sebagai usaha bersama seperti diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, tiga soko guru ekonomi itu mestinya dikuasai oleh BUMN, Koperasi dan Swasta. Namun dengan berbagai fakta emipirik tersebut muncul pertanyaan, benarkah pembangunan ekonomi Indonesia berdasar konstitusi? Menurut data Kementrian BUMN (Kemen BUMN, 2012) ada 17 Industri dengan aneka perusahaan berjumlah 139 dibawah Kemen BUMN.

Padahal, menurut APBN 2011, komposisi penerimaan dalam negeri terdiri dari Penerimaan Pajak 77.21% dan Penerimaan Bukan Pajak 22.79%. Secara total Penerimaan APBN 2011 adalah 1.104.902 milyar sudah termasuk Hibah 0.34%. Disisi yang lain hutang NKRI semakin naik setiap tahunnya dan tahun 2011 mencapai Rp 1.816 triliun sehingga Kwik Kian Gie menyebutnya sebagai besar pasak dari pada tiang (Detik Finance, 21 Februari 2012). Dengan kata lain, penerimaan dari sektor BUMN itu tidak ada artinya bila dibanding corporate capital yang menguasai Indonesia. Gambaran ini menjelaskan bagaimana kekayaan bumi, air, dan seisinya belum digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketika sistem kapitalisme itu memunculkan the global plutocracy dan pertambahan kekayaan orang kaya Indonesia itu juga mengikuti fungsi eksponensial, maka mulai saat ini hingga 2030, sesuai dengan analisis Rahakundini the real big game, pertarungan antara National Capital dengan Corporate Capital untuk memperebutkan sumber daya alam maupun karena geo politik sudah dimulai.

Lebih lanjut, dari perspektif yang berbeda Far Eastern Economic Review 2003 menyoroti kemerosotan Indonesia yang disebabkan oleh empat aspek yaitu (McBeth, 2003) :

  • Many political and business leaders overlook the national interest

  • Corruption spreads broadly through government

  • The military is still needed to preserve control

  • The courts routinely punish the weak and exonerate the powerful

  • Reforms are diluted as they are implemented

Yang terakhir, Acemoglu dan Robinson membuat model ekonomi yang mengesankan untuk membuktikan bahwa fakta empirik globalisasi di beberapa negara yang sedang berkembang ternyata tidak berdampak pada peningkatan keadilan, (Acemoglu & Robinson, 2006). Di Argentina dan Chili sebagai contoh justru sebaliknya karena disana terjadi tanah yang berlebihan dan bukan tenaga kerja sehingga globalisasi berdampak pada increasing the rate of return on land. Di Indonesia, situasinya hampir mirip. Di beberapa wilayah dimana ada tanah berlebihan dan ada tenaga berlebihan sehingga globalisasi tentu saja akan berdampak pada peningkatan ketidakadilan. Maka, hasil kajian UNDP sangat mengejutkan karena ternyata hubungan antara economic development growth dengan Pendidikan dan Kesejahteraan sangat lemah. Kasus Mesuji menurut warga (Kompas, 15 Desember 2011 ) atau menurut Komnas Ham (Republika Online, Rabu, 21 Desember 2011) atau menurut Antara (Antara, Minggu, 18 Desember 2011) telah menunjukkan bahwa hulu dari masalah tersebut adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, yaitu antara rakyat dan pemilik tanah perkebunan.

Bangsa Indonesia kini tengah mengalami multikrisis. Tidak hanya krisis di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik, sosial, dan kultural. Tantangannya adalah bagaimana memecahkan persoalan yang multikompleks ini. Daoed Jusuf mengingatkan bahwa pembangunan sebuah bangsa bukan hanya membangun ekonomi (Joesoef, 2012).

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah itu yang menjadi gegayuhan bangsa ini dengan menyatakan kemerdekaannya? Di samping itu, ada empat kemungkinan bencana atau anugerah bagi bangsa Indonesia, yaitu:

  • Posisi geografis NKRI

  • Sumber Daya Alam

  • Keragaman Budaya

  • Jumlah penduduk 237 juta

Apakah ke-empat butir itu akan menjadi bencana atau anugerah bagi bangsa Indonesia? Secara kualitatif. struktural ekonomi Indonesia tidak mengalami perubahan substansial karena ketidakmampuan atau tidak ada niat untuk keluar dari struktur ekonomi kolonial. Sebagai konsekuensinya, Indonesia yang mengandalkan utang untuk pembangunan itu tidak hanya tidak mampu memacu kecepatan yang lebih tinggi, tetapi juga kehilangan arah dari apa yang sudah menjadi komitmen sejarah.

Oleh karena nilai cicilan plus bunga hutang luar negeri lebih besar dari nilai hutang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Jadi utang terus dan terus berutang (Zed, 2011). Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan merilis data terbaru perkembangan utang pemerintah Indonesia per September 2012 sebesar Rp 1975,62 trilyun. Dengan demikian jumlah utang pemerintah bertambah Rp 166,67 trilyun dari akhir tahun 2011, atau bertambah Rp 220,71 trilyun jika dihitung per September 2011. Dalam laporan perkembangan utang bulan lalu, per Agustus 2012 jumlah utang pemerintah mencapai Rp 1957,20 trilyun. Dibanding dengan jumlah utang per September, utang bertambah Rp 18,42 trilyun. hanya dalam waktu satu bulan atau rata-rata dalam satu hari utang bertambah Rp 614 milyar (Jurnal Ekonomi Ideologis, 2012), Gambar 17

Cicilan Utang Negara

Gambar 17: Grafik Perkembangan Cicilan Utang Negara

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan sebanyak 70% bahan produk pangan berasal dari impor. Sementara itu, untuk bahan tambahan pangan (BTP) yang ada Indonesia, 80% juga masih impor (Neraca, 2012).

Sebagai negara agraris dan mempunyai kekayaan akan hasil alam yang melimpah, Indonesia ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan pemerintah masih harus mengimpor dari negara lain. “Impor produk-produk pangan Indonesia setiap tahun makin tidak terbendung dan sudah pada tahap kronis. Hampir 65 persen dari semua kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur di Jakarta (Bisnis Indonesia, 2012). Bahkan Indonesia telah dinyatakan sebagai berada di kategori rawan pangan oleh Failed State Index 2011 (FP, 2012) dan juga kondisi rawan gisi serius oleh Global Hunger Index 2011 (IFPRI, 2011).

Yang menarik adalah ketika Wapres Boediono berkata bahwa GDP Indonesia disumbang oleh sumber daya alam dan bukan nilai tambah di dalam negeri (Boediono, 2012), artinya Sumber Daya Alam di seluruh wilayah NKRI itu dikuras dan tidak diproses di dalam negeri sehingga added value-nya lari keluar negeri (Bisnis Indonesia, 16 November 2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan rata-rata pertumbuhan 10,4% per tahun, impor energi pada 2030 menjadi sembilan kali lipat dari 2010, yaitu 2.270 juta barel setara minyak dengan rasio impor 36,9%, dan BPPT memperkirakan pada 2030 Indonesia defisit gas hingga 22 juta ton. Penggunaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) akan melaju pesat mulai 2019 untuk mengisi kebutuhan gas domestik. Bahkan jika menggunakan skenario MP3EI, defisit produksi LNG domestik terjadi lebih cepat, yakni dimulai pada 2023. Adapun pertumbuhan energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2030 dengan skenario dasar belum mampu banyak berperan dalam bauran energi nasional (Media Indonesia, 24 OKTOBER 2012).

Di sisi yang lain, di Indonesia ada 40 orang (Forbes, November 18 2011) dari 237 juta penduduk, atau 0.000016878%, menguasai 38% kekayaan total Indonesia. Seperti penelitian Vitally et.al., jaringan sistem mesin uang mereka telah membentuk sebuah sistem besar yang saling tali-temali dan selalu membuat uang mereka berlipatganda (Vitali et.al., 2011). Fenomena global itu memberi gambaran : [1] bagaimana distribusi kekayaan global terbentuk, [2] bagaimana kekayaan global tersebut terdistribusi, dan [3] bagaimana akumulasi kekayaan tersebut potensial menentukan nasib sebagian warga global. Artinya, bukan hanya global plutocracy menguasai Indonesia, juga predatory culture itu benar-benar sudah berada di sekeliling setiap anak bangsa Indonesia dan sudah tercebur kedalamnya tanpa berdaya.

Padahal, geografi NKRI yang bukan hanya strategis dalam konstelasi konflik Asia Pasifik, tetapi juga berbatasan dengan sembilan negara yang memunculkan masalah baru akibat ZEE di SLOC*. Di samping itu, Indonesia terletak dalam US Control Line, diselatan selat Sunda dengan Diego Garcia adalah pangkalan militer USA dan di kawasan ASEAN berada di Singapore, lalu di sebelah timur ada Guam dan baru saja Darwin Deployment. Chinese Diaspora juga membawa konsekuensi ketegangan regional baru di wilayah laut China Selatan, The New Big Game-Agar Mare Pacificum tetap terjaga dimana Indonesia dikepung oleh kekuatan negara-negara Commonwealth dan USA, lihat Gambar 11.

Di samping tekanan masalah sosial dan ekonomi yang mempengaruhi pendidikan, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan neoliberalisme global dengan global plutrocracy serta predatory culture yang sudah berada disekeliling masyarakat dimana predatory culture dan victims sudah sama-sama menikmati. Juga Indonesia dihadapkan pada potensi konflik regional yang bersumber pada penguasaan sumber daya alam yang akan semakin membesar di tahun 2030. Itu semua tentu harus dihadapi dan pendidikan bagi generasi penerus adalah satu-satunya pilihan strategis. Kaleisdekop Pendidkan Nasional Indonesia telah merentang realita keadaan dan tantangan bangsa yang harus dihadapi (Tilaar H.A.R., 2012). Bila langkah-langkah strategic di bidang pendidikan dan bidang sosial serta ekonomi tidak dirumuskan dengan tepat maka Arab Spring yang dimulai dengan Jasmine Revolution, (Acemoglu & Robinson, 2012), mungkin saja berpindah ke Indonesia dan tragedi Sriwijaya dan Majapahit akan berulang.

Bahkan, survey yang dilakukan oleh Yayasan Denny JA dan LSI Community mengenai toleransi kehidupan sosial masyarakat menghasilkan temuan yang semakin mengkhawatirkan, yaitu 15 – 80 % Publik Indonesia Tidak Menerima Bertetangga Dengan Orang Lain yang berbeda Identitas, seperti terlihat dalam tabel berikut (Media Indonesia, 22 Oktober 2012):

JENIS TETANGGA

Menerima

Tidak Menerima

TT/TJ

Beda Agama

77.50%

15.10%

7.40%

Syiah

54.00%

41.80%

4.20%

Ahmadiyah

48.20%

46.60%

5.20%

Homoseks

17.10%

80.60%

2.30%

*Sea Line of Communication 

Leave a Reply