Kepudaran Pendidikan Ki Hadjar

Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas ditetapkan setiap tanggal 2 Mei untuk menghormati Ki Hadjar Dewantara yang telah ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang lahir pada 2 Mei 1889. Namun, setiap Hardiknas, sambutan Mendiknas tidak lain adalah sebuah ritual pidato tanpa makna terkait dengan penghormatan kepada Bapak Pendidikan nasional itu. Bahkan, kalau kita menyimak fenomena masyarakat yang cenderung semakin tidak mengenal akar budayanya, senang kekerasan, semakin tidak menusiawi, semangat kebangsaan yang cenderung semakin menurun, semakin ekslusif dan materialistik, semakin tidak peduli dengan linkungannya, maka Ki Hadjar pantas dan layak merintih. Apalagi lingkungan macrosystem [Urie BrofenenBrenner, 2007] yang menebar pendidikan negatif melalui perilaku para pemimpin yang tidak patriotik, tidak bertanggungjawab, munafik dan koruptif serta lembek, jelas akan semakin mempengaruhi pendidikan generasi mudanya. Juga, media sebagai bagian dari lingkungan macrosystem juga menebar pendidikan yang tidak positif. Sebagai tambahan, adalah maraknya anak-anak sekolah dan remaja yang semakin tercabut dari jiwa NKRI. Yang terakhir, dengan mudah sekali menggunakan Google untuk memproleh informasi dan foto-foto mengenai sekolah-sekolah yang tidak beres dan bangunannya seperti kandang ayam di seluruh antero negeri. Lengkap sudah keprihatinan Ki Hadjar meskipun hari lahirnya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ada empat pesan pendidikan Ki Hadjar yang sangat relevan dengan kondisi kenegatifan pendidikan di Indonesia saat ini. Pertama, Panca Darma yaitu Pendidikan harus memperhatikan Kodrat Alam, Kemerdekaan, Kemanusiaan, Kebudayaan, dan Kebangsaan. Pesan Ki Hadjar ini sangat jelas yaitu pendidikan adalah untuk menghadirkan calon-calon pemimpin bangsa Indonesia. Pendidikan itu memerdekaan, membuka potensi siswa agar semakin mengenali dirinya, sesuai dengan kodrat Illahi. Pendidikan itu tidak menindas dan memperhatikan manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus diperhatikan secara mansuiawi agar kelak mereka juga memperlakukan manusia lain secara manusiawi pula. Maka, Guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik. Peran ini yang sekarang semakin hilang dan Guru hanya berurusan dengan pengajaran. Pendidikan harus memperhatikan kebudayaan sebagai bagian dari apresiasi terhadap lingkungan sosialnya karena pendidikan tidak pernah lepas dari konteks sosial lingkungannya. Disamping itu, mengenali kebudayaan melalui berbagai kesenian dan adat istiadat berarti menggarap sekaligus sisi motorik, afektif, dan intelektual peserta didik. Pendidikan harus memperhatikan kebangsaan artinya semangat kebangsaan dan cinta tanah air itu harus disemai sejak dini melalui cerita, legenda, pelajaran sejarah, geografi, kesusasteraan, dsb. Itu semua sebenarnya menggarap sekaligus tiga dimensi belajar yaitu sisi Intelektual, Emosional, dan Sosial peserta didik agar semakin berkembang kapasitasnya.

Maka, Nation and Caharacter Building , tanpa harus dikaitkan dengan nama Soekarno, sebenarnya adalah Pendidikan yang menggarap Panca Darma tersebut. Sayangnya, ketika pergantian rezim itu semua yang berbau lama ditumpes kelor termasuk pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan karena dikhawatirkan pembangunan karakter dan kebangsaan itu akan melanggengkan nilai-nila lama yang kuat rasa kebangsaannya dan itu dikhawatirkan oleh pembuat scenario pergantian rezim. Maka, Nation and Character Building diganti menjadi State Building. Inilah sebenarnya awal perubahan itu. UU Pendidikan pertama NKRI , yaitu UU No 4 Th 1950 yang memuat tujuan pendidikan NKRI dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang juga mewakili Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika Bandung yang melahirkan Dasa Sila Bandung yang menggoncang dunia dan itu bertentangan dengan tangan-tangan yang membuat scenario perubahan ke arah the new world order yang dikuasai oleh segelintir kelompok.

Ke dua adalah Tujuan Pendidikan. Ki Hadjar melahirkan konsep Tri Rahayu, yaitu Hamemayu Hayuning Sariro dimana pendidikan harus bermanfaat bagi siswa yang bersangkutan, keluarga , dan masyarakat disekitarnya. Hamemayu Hayuning Bongso, artinya pendidikan harus membuat peserta didik bermanfaat bagi bangsa dan negaranya. Hamemayu Hayuning Bawono artinya pendidikan harus membuat peserta didik bermanfaat bagi dunia. Pesan ini jelas mengenai tujuan pendidikan bagi pribadi dan bangsanya.

Ke tiga, Tri Mong, yaitu Ngemong , Among, dan Momong. Ki Hadjar membagi masa perkembangan menjadi tiga fasa yaitu 0-7 tahun dimana peran Ngemong dominan; 7-14 tahun dimana peran Among dominan; dan 14-21 tahun dimana peran Momong dominan. Artinya , dalam proses pendidikan masing-masing fasa itu menghendaki perilaku pendidik yang berbeda dalam mendampingi peserta didik. Memperlakukan siswa SD tentu berbeda dengan memperlakukan siswa SMA, demikian pula sebaliknya. Peran ini yang sekarang tampaknya semakin pudar karena Guru hanya berperan mengajar. Padahal dalam konsep Pendidikan Ki Hadjar, Guru adalah kaderisasi kepemimpinan bangsa.

Ke-empat pesan model kepemimpinan Ing Ngarso Sung Tulodo artinya seorang Guru harus menjadi model bagi peserta didik, tampil di depan ketika dalam kesulitan, menjadi suri tauladan kebajikan kepada peserta didik. Ing Madya Mangun Karso artinya di tengah memberi motivasi untuk menggerakkan dan membantu bila diperlukan. Dengan kata lain menumbuhkan rasa aman. Tut Wuri Handayani artinya dibelakang mengamati bila proses sudah berjalan sesuai dengan harapan dan bila perlu memberi masukan untuk meluruskan bila terjadi penyimpangan. Peran ini diharapkan ada pada Guru yang akan tertransformasi tanpa sadar selama proses.

Dengan demikian, sebenarnya disamping UU No 4 Th 1950 dan 10 Pedoman Guru yang pernah keluar tahun 1946, warisan Ki Hadjar Bapak Pendidikan Nasional sudah menegaskan bahwa Nation and Character Building adalah sebuah keharusan. Pembangunan Karakater dan Budaya Bangsa sudah melekat dalam proses pendidikan dengan menggarap siswa secara utuh lengkap. Pemerintah tidak perlu gagap untuk membuat berbagai program pendidikan karakter dan budaya, apalagi menetapkan Sekolah Rintisan Berkarakter dan Berbudaya Bangasa. Itu hanya mencerminkan pertama ketidakpahaman mengenai pendidikan; ke dua ketidak pahaman mengenai pesan Ki Hadjar meskipun setiap tahun diperingati hari lahirnya dan tak ubahnya sebuah ritual tanpa makna. Dan, ke tiga adalah terjebak kedalam budaya proyek dan program karena kepanikan menghadapi badai tak terduga akibat proses jangka panjang.

Lihat pula : Pendidikan Berbasis Budaya ?