Lingkungan Sekolah

Lingkungan Sekolah

DASAR ATAU AJAR

Rousseau menggambarkan Emile, dalam buku Emile, or DE L’education, sebagai pribadi yang direncanakan untuk belajar dari alam dengan menggunakan inderanya dan tidak ingin kemampuan alaminya dicampuri. Sekolah formal dipandang akan memasukkan informasi yang akanm merusak sifat-sifat alami Emile sebelum dia cukup siap untuk menerimanya. Dengan belajar dari alam, Emile bisa mengembangkan dirinya sesuai dengan keingintahuannya untuk mengenali lingkungannya secara langsung. Indrawinya akan menentukan informasi mana yang ia butuhklan sesuai dengan instingnya. Setelah Emile berusia 13 tahun, ia cukup ,mengenal lingkungannya dan siap untuk masuk ke sekolah formal.

Emile

Apa yang ditulis oleh Rousseau mengenai Emile sebenarnya menjelaskan perihal apa dan bagaimana anak hendaknya belajar. Meskipun Rousseau terkesan agak radikal dalam menjelaskan ketidakpercayaannya terhadap pendidikan formal, sesuai dengan jaman pada saat itu, dan filosofinay mengenai ketidakadilan yang penyebabnya berhulu kepada Politik atau Etika, namun sebenarnya Rousseau menjelaskan dua hal penting dalam hal proses proses perkembangan anak, yaitu Nature or Nurture atau kalau dalam bahasa Ki Hadjar adalah Dasar dan Ajar. Dua hal ini menjadi titik tolak pembahasan Lingkungan Sekolah.

Dasar adalah bawaan anak yang ditentukan oleh chromosome orang tua. Dalam budaya Jawa dikenal “bibit”. Setengah jam setelah pembuahan, cetak biru anak terbentuk dan itulah “bibit” atau dasar. Rousseau dengan “deschooling” tampak sekali ingin memunculkan “bibit” itu menjadi sebuah keingintahuan anak ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Indera anak akan menjadi sarana bagi anak untuk menyerap semua informasi yang tersedia di lingkungannya sesuai dengan keingintahuannya. Filolosofi “deschooling” seperti dalam contoh Emile dalam novel Rousseau tersebut, kini banyak berkembang, dimana anak diberi kebebasan untuk belajar apa yang ia sukai untuk mengembangkan dirinya secara individual.

Setelah Emile berusia 13 tahun dan telah cukup melakukan berbagai dengan lingkungannya untuk memenuhi keingintahuannya sesuai dengan kehendaknya, Emile siap untuk masuk ke sekolah formal dan siap pula untuk menerima berbagai informasi di sekolah, Fasa belajar Emile menurut Rousseau adalah anak memenuhi kebutuhan dan keingintahuan sesuai dengan dasar atau “bibit” atau nature-nya dan kemudian baru mengikuti proses ajar di sekolah.

Masalah dasar dan ajar itu telah menjadi perdebatan filosofis antara kualitas bawaan individu, yaitu nature atau “bibit” – nativism atau inativism, dengan pengalaman personal, yaitu nurtureemipiricsm, behaviorsm untuk menentukan perbedaan individu baik secara pisik maupun perilaku, dan berbagai penelitian tiada henti hingga memunculkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berhulu ke perdebatan Nature or Nurture1. Misal Behavioral Genetics2, Nature and Nurture in Intelligence3, Penemuan terakhir yang dilakukan oleh ilmuwan di UCLA San Diego cukup mencengangkan, yaitu bahwa DNA mempengaruhi pilihan politik4. Akhirnya, Robbins5 melalui OB stage II menjelaskan bagaimana individu yang sudah dewasa berkembang dalam interaksi dengan lingkungan kerjanya, melalui individual learning process.

Dalam hal ini, Gordon and Browne6 berpendapat bahwa Dasar dan Ajar adalah keseimbangan antara Maturation, Multiple Intelligences, Psychodynamics, dan Cognitive di satu sisi dengan Behaviorist,Ecological, Sociocultural, dan Humanist di sisi lain.

Natur-or-Nurture-300x233

 Selanjutnya, menurut Gordon and Browne, ada tiga faktor yang menyangkut per-kembangan anak yaitu :

  1. AffectiveBegining-and-Beyond-300x293

    1. Social

    2. Emotional

    3. Creative

    4. Spiritual

  2. Intellectual

  3. Cognitive

  4. Language

  5. Physical-motor

  6. Gross-motor

  7. Fine-motor

  8. Perceptual-motor

Selanjutnya, seluruh faktor tersebut akan berkembang seiring kemunculan rangsangan-rangsangan lingkungan terhadap seluruh sensory7-nya, yaitu Sensory System, Sensory Neuron, Sensory Receptor, Sensory Perception, dan Sensory Ecology.Sensory pada setiap anak dalam masa perkembangan tidak akan bereaksi sama terhadap sebuah rangsangan yang muncul dari lingkungannya. DNA8, atau Deoxyribonucleic acid, adalah faktor yang menyebabkan mengapa Sensory tidak bereaksi sama terhadap rangsangan lingkungan yang sama. DNA adalah sebuah nucleic acid yang berisi instruksi-instruksi genetik dan digunakan dalam perkembangan serta memfungsikan seluruh organisme kehidupan. Maka, muncul pendapat mengenai Nature atau Dasar. Orang Jawa mengenalnya sebagai Bibit. Jadi, anak terlahir berbeda karena DNA orang tuanya.

LINGKUNGAN PERKEMBANGAN ANAK

Lingkungan semasa perkembangan anak menyediakan rangsangan-rangsangan terhadap sensory baik berdasarkan suatu disain tertentu maupun alami, maka disinilah arti dan peran penting bagaimana rangsangan-rangsangan yang tepat untuk mengembangkan ketiga fakltor yang menyangkut perkembangan anak tersebut, yaitu Affective, Intellectual, dan Physical-motor. Hendak menuju kemana arah perkembangan anak atau hendak berwujud seperti apa perkembangan anak selanjutnya sangat tergantung kepada bagaimana rangsangan-rangsangan tersebut didisain dan muncul secara alami dalam interaksi yang alami pula, Kedua disain rangsangan sensori tersebut akan selalau menyertai perkembangan anak sejak lahir hingga dewasa, mulai dari lingkungan keluarga hingga lignkungan masyarakat.

Bila unsur waktu dimasukkan kedalam analisis perkembangan anak, maka menurut Bronfenbrenner’s Ecological Theory, selama masa pertumbuhan anak hingga dewasa, perkembangan anak dipengaruhi oleh berbagai lingkungan. Keluarga adalah lingkungan Microsystem yang pertama kali mempengaruhi perkembangan anak; kemudian Mesosystem dimana sekolah, teman bermain, afiliasi agama, tetangga, dan sekolah; lalu Exosystem dimana anak yang sudah berkembangn dewasa mulai bersinggungan langsung dengan sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, dan sistem pemerintah.

Urie-dan-PHD-256x300

Dalam hal ini, berkaitan dengan dimensi waktu perkembangan anak, menarik untuk melakukan “super impose” Tiga Mong Ki Hadjar Dewantara, yaitu Momong, Among, dan Ngemong ke model Bronfenbrenner’s Ecological Theory.Di lingkungan Microsystem, peran Momong lebih dominan, di lingkungan Mesosystem peran Among lebih dominan, sedang di lingkungan Exosystem peran Ngemong lebih dominan.

Momong dalam bahasa Jawa berarti merawat dengan tulus dan penuh kasih sayang serta mentransformasi kebiasaan-kebiasaan atau membiasakan hal-hal yang baik disertai dengan doa dan gegayuhan agar kelak buah “gulowenthah” atau merawat dengan penuh kasih dan sayang kelak berbuah menjadi anak yang baik dan selalu dijalan kebenaran dan  keutamaan.

Among dalam bahasa Jawa berarti memberi contoh tentang baik buruk tanpa harus mengambil hak anak agar anak bisa tumbuh dan berkembang dalam suasana batin yang merdeka sesuai dengan dasarnya, erat kaitannya dengan  azas ke tujuh dari Tujuh Azas Taman Siswa yaitu

Azas pengabdian dan kesucian hati, dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan sang anak. kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada sang anak9.

Dalam proses wulang wuruk atau pengajaran tentang nilai kebaikan dan keburukan yang disertai dengan contoh perilaku di tahap ini, pengenalan hukuman sesuai bagi pelanggaran terhadap norma dan disiplin dilakukan sesuai dengan kodratnya.

Ngemong dalam bahasa Jawa berarti proses untuk mengamati, merawat, dan menjaga agar anak  mampu mengembangkan dirinya, bertanggungjawab dan disiplin berdasar nilai-nilai yang telah diperolehnya sesuai dengan kodratnya.

Dalam sikap yang Momong, Among, dan Ngemong terkandung nilai yang sangat mendasar yaitu pendidik tidak memaksa namun demikian tidak berarti membiarkan anak berkembang bebas tanpa arah.

Dengan derasnya arus perubahan dan gemerlapnya dunia material, tampaknya 3Mong KHD semakin menghadapi ujian yang semakin berat, ketika tuaian semakin banyak namun pekerja semakin sedikit.

PENDIDIKAN DAN SEKOLAH

Pendidikan adalah setiap kegiatan atau pengalaman yang mempengaruhi secara formatif pikiran dan karakter atau kemampuan pisik individu. Pendidikan menjadi sarana bagi setiap generasi untuk mentrasformasi peradaban, yaitu pengetahuan, ketrampilan, nilai, kebiasaan kepada generasi berikutnya secara akumulatif.

Sejarah Pendidikan adalah sejarah Pengajaran dan Pembelajaran10. Setiap generasi, sejak awal manusia berada, selalu berusaha untuk mewariskan budaya dan nilai sosial, tradisi, moralitas, adat-istiadat, kebiasaan, keyakinan dan keahlian kepada generasi berikutnya. Sejarah kurikulum pendidikan umat manusia itu sendiri telah tercermin dalam sejarah umat manusia beserta trajektori besar ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini.

Menurut Rendall et.al11.,

Etymologically, the word education is derived from educare (Latin) “bring up”, which is related to educere “bring out”, “bring forth what is within”, “bring out potential” and ducere, “to lead”. “

di institusi pendidikan, Guru mengarahkan peserta didik dalam belajar berbagai subyek, seperti menulis, membaca, berhitung, dsb., dan dikenal sebagai proses sekolah12.

Menurut Berns13, , tujuan dasar Pendidikan dibedakan menjadi dua:

  1. Perspektif masyarakat

  • Transformasi warisan nilai budaya

  • Pelestarian nilai budaya

  • Kumpulan pengetahuan, nilai, keyakinan, dan adat sitiadat masyarakat.

  1. Perspektif Individual.

  • Memperoleh pengetahuan dan keahlian yang diperlukan agar mandiri dan mampu berpartisipasi aktif di masyarakat.

Sedang tokoh Pragmatism John Dewey14 membedakan Education dan School sebagai berikut,

What Education is,

  1. all education proceeds by the participation of the individual in the social consciousness of the race.

  2. the only true education comes through the stimulation of the child’s powers by the demands of the social situations in which he finds himself.

  3. educational process has two sides – one psychological and one sociological; and that neither can be subordinated to the other or neglected without evil results following.

  4. knowledge of social conditions, of the present state of civilization, is necessary in order properly to interpret the child’s powers.

  5. psychological and social sides are organically related and that education cannot be regarded as a compromise between the two, or a superimposition of one upon the other.

  6. each of these objections is true when urged against one side isolated from the other.

What School is,

  1. school is primarily a social institution. Education, therefore, is a process of living and not a preparation for future living.

  2. school must represent present life – life as real and vital to the child as that which he carries on in the home, in the neighborhood, or on the play-ground.

  3. school, as an institution, should simplify existing social life; should reduce it, as it were, to an embryonic form.

  4. school life should grow gradually out of the home life; that it should take up and continue the activities with which the child is already familiar in the home.

  5. much of present education fails because it neglects this fundamental principle of the school as a form of community life.

  6. moral education centres about this conception of the school as a mode of social life, that the best and deepest moral training is precisely that which one gets through having to enter into proper relations with others in a unity of work and thought.

Butir-butir dalam Creed Dewey ini menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses social dan psychological yang terjadi secara sadar dan simultan dimana sekolah adalah bagian dari pendidikan yang tidak terlepas dari konteks sosial lingkungannya.

Dengan demikian, Pendidikan dalam artian luas adalah transformasi dan akumulasi peradaban manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses pendidikan itu bisa formal dan non formal.

Sekolah sebagai tempat bersosialisasi siswa adalah lembaga formal dimana siswa belajar untuk mengembangkan diri. Di sekolah, siswa bisa bersosialisasi dengan siswa lain dan dengan guru untuk mengembangkan potensi dirinya baik dari sisi kompetensi intelektual maupun dari sisi kompetensi sosial. Pengaruh secara langsung terhadap siswa di sekolah adalah kebijakan pendidikan, organisasi formal, dan hubungan sosial.

LINGKUNGAN SEKOLAH

 PENDIDIKAN DAN SEKOLAH SEBELUM MASEHI

Sejarah sekolah mulai tercatat ribuan tahun yang lalu di Egypt, Greek, Rome, Pre-Columbian America15.

Ancient Aztec.

Aztec adalah sebuah suku di Amerika Selatan yang sekarang wilayahnya masuk ke Mexico. Anak-anak mulai di-didik sejak usia 3 tahun. Ayah mengajari anaknya berbagai hal yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dalam keluarga seperti membawa air, membawa dagangan ke pasar, dll. Sedang, Ibu mengajari putrinya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Setiap tahun, macam pelajaran ditambah sesuai dengan perkembangan pisik dan perkembanga ketrampilan anak. Dengan demikian, orang tua bertanggungjawab penuh untuk mendidik anaknya agar menjadi berarti bagi rumah tangga.

Di Aztec, diluar pendidikan keluarga tersebut, juga ada dua jenis sekolah, yaitu Telpochcalli, the House of Youth. Pada umumnya anak-anak Aztec yang tidak demikian kaya pergi ke sekolah ini untuk belajar sejarah Aztec, kepercayaan, dan ritual. Jenis sekolah yang lain adalah Calmecac yaitu sekolah untuk kaum ningrat atau kaya di Aztec. Sekolah ini sangat khusus untuk mengajarkan dan mendidik siswanya menjadi pendeta, hakim, atau pemimpin militer dan dilakukan di kuil serta diajarkan oleh para pendeta.

Yang menarik dari sekolah di Aztec adalah bahwa tidak ada buku disana dan pelajaran dalam bentuk lisan dimana siswa harus mengingatnya dan mengulangnya. Model ini tentu saja membutuhkan keteladanan dan praktek yang lebih banyak sehingga transformasi terjadi seperti yang diharapkan.

Ancient Rome

Masyarakat Roma awal pada enam abad sebelum masehi, anak-anak di-didik oleh orang tua mereka. Ibu memegang peran pendidikan bagi putra dan putrinya sebelum mereka berusia tujuh tahun. Ibu mendidik putra-putri sebagaimana kebutuhan rumah tangga.

Setelah usia tujuh tahun kemudian ayah mengambil peran pendidikan putranya untuk menentukan kebutuhan pendidikan anaknya untuk hidup. Pendidikan sambil melakukan dan memberi contoh menjadi sangat penting. Maka, anak akan selalu memgikuti ayah untuk belajar sambil melakukan.

Sejarah kemudian menunjukkan bahwa bangsa Roma mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan Bangsa Yunani atau Greek. Kemudian Greek menjadi bahasa internasional oleh beberaa sekolah di Roma. Selanjutnya, bangsa Roma dianggap berpendidikan apabila mereka menerima pendidikan seperti Greek.

Pada masyarakat Roma yang kaya, mereka sudah menidentifikasi dirinya sebagai orang Greek dan mempekerjakan orang Greek sebagai pembantu mereka sehingga pendidikan mengenai Greek diperoleh dari para pembantu.

Ancient Greece

Ada dua negara di Greece, yaitu Sparta dan Athens. Kedua negara ini sangat berbeda dalam pendidikan dan sekolah anak-anak mereka.

Di Sparta, seluruh sekolah adalah sekolah negeri, tidak ada sekolah swasta. Sekolah dasar sangat kasar dimana anak Sparta usia 6 tahun dikirim ke boarding school dimana Science dan Matematika bukan merupakan subjek yang penting karena anak-anak bisa belajar sehabis sekolah. Mereka diajarkan untuk mematuhi segala perintah dan tidak boleh menunjukkan kelemahan atau kesakitan selama proses yang keras disekolah. Guru mempersiapkan mereka menjadi prajurit yang baik. Sementara itu, putri-putri Sparta tidak ke sekolah namun mengiktui ibunya untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga.

Di Athens, sebaliknya, lima abad sebelum masehi, seluruh sekolah adalah swasta dengan siswa sekitar 10 orang. Hanya orang kaya yang bisa sekolah dimana Guru adalah pemilik sekolah yang menarik pembayaran dari siswa. Satu abad kemudian, sekolah negeri mulai dibuka untuk mereka yang tidak mampu. Kepada mereka diajarkan untuk membaca, menulis, pendidikan jasmani, dan musik oleh guru-guru yang berbeda. Tidak banyak waktu bagi mereka untuk belajar Matematika. Setiap siswa harus bisa memainkan instrumen yaitu Lyre. Tujuan sekolah di Athens adalah untu menghadirkan oran yang bijaksana dan baik. Anak-anak putri Athens tidak pergi ke sekolah, mereka melakukan pekerjaan rumah membantu ibu mereka.

 

Ancient Egypt

Ayah dari siswa Egypt sangat menentukan arah karir dan pendidikan anak lelaki mereka. Maka, mereka menentukan pendidikan yang dikehendaki sebelum mereka mulai sekolah. Di sekolah, mereka hanya belajar sbyek yang mereka butuhkan untuk pekerjaan mereka kelak. Keahlian membaca dan menulis dipandang sangat penting. Siswa Egypt membutuhkan watu lama untuk membaca dan menulis huruf hieroglyphics yang telah dikembangkan sejak 3100 BC dan memiliki 700 tanda serta ditulisa dari kanan ke kiri, bawah ke atas dan atas ke bawah. Kepala sekolah mengontrol seluruh siswa dan menghukum mereka bila malas atau mengantuk di kelas.

SEKOLAH DI AMERIKA KINI.

Di Amerika, sekolah merupakan sebuah kewajiban. Maka, ada public school atau sekolah negeri dari Kindergarten hingga K12 yang gratis bagi mereka termasuk antar jemput dengan bis sekolah di setiap district atau semacam kabupaten. Bis sekolah mendapat perhatian tinggi dari setiap warga. Setiap Bis Sekolah berhenti untuk menjemput atau mengantar siswa maka pada jarak 100 yard semua kendaraan harus berhenti. Di Amerika juga ada sekolah swasta yang biasanya berafiliasi dengan agama dan hanya khusus bagi mereka yang kaya karena membayarnya sangat mahal. Untuk mengatur keseimbangan jumlah kelas di public school ada aturan khusus mengenai proporsi white, black, and hispanic.

Tujuan sekolah di Amerika adalah sebagai berikut16:

Academic goals

  • Basic skills

  • Fundamental process

Vocational Goals

  • Career/vocational education

Social, Civics, and Cultural Goals

  • Interpersonal understanding

  • Citizenship participation

  • Acculturation

  • Moral and ethical characters

Personal Goals

  • Personal and physical well-being

  • Creativity and aesthetic expression

  • Self-realization

Dari empat kategori tujuan pendidikan sekolah di USA tersebut tampak bahwa sekolah menjadi tempat dimana seluruh potensi siswa17 yaitu Intellectual, Emotions, dan Social siswa dikembangkan

SEKOLAH DI SINGAPORE KINI.

Di pintumasuk kantor The Minstry of Education Singapore terpampang sebuah tulisan di lempengan tembaga “Shaping The Future of Our Nation” Makna kalimat itu sangat jelas yaitu bahwa pendidikan untuk membangun masa depan bangsa.

Singapore, hampir seperti Indonesia memiliki masalah keragaman race yaitu Chinnese, India, dan Melayu. Maka, disain pendidikan Singapore menyatukan keragaman tersebut dengan memberi keunikan bagi masing-masing private shool namun juga tetap menjaga persatuan Singapore. Maka, disain output untuk Primary School adalah Love Singapore. Kurikulum di disain untuk mewujudkan output tersebut. Singapore Science Center di disain untuk menunjang tujuan pendidikan tersebut sehingga di SSC tersebut guru bisa mengajak siswa memahami keterbatasan Singapore. Siswa diajak bermain sambil belajar disini. Pada tingkat di atasnya hingga High School, targetnya adalah preparing the future leader of Singapore, Salah satu pendidikan lingkungan mereka adalah mengjarkan kepada siswa mengenai penggunaan bahan yang bisa didaur ulang. Maka, pamper, tisu dsb yang mengunakan bahan baku kayu hutan dijelaskan sebagai sebuah pemborosan lingkungan yang Singapore tidak punya. Maka kepada siswa dan orang tua disadarkan mengenai penggunaan sapu tangan dan kain yang bsia dicucui kembali. Orang tua diberi fasilitas untuk bisa mengakses informasi mengenai perkembangan putranya baik melalui telephone maupun sarana internet.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Nature or Nurture atau Dasar atau Ajar terjadi side by side selama masa pertumbuhan anak dan tidak mungkin mengabaikan salah satu. Dasar dan Ajar saling mengisi untuk mengembangkan kapasitas anak yaitu, Intellectual Capacity, Emotional Capacity, dan Social Capacity. Disamping itu, pendidikan dan sekolah menentukan arah dan masa depan peserta didik. Secara kolektif, pendidikan menentukan arah dan masa depan sebuah bangsa.

LINGKUNGAN MACROSYSTEM

Ternyata ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pendidikan anak, misal jenis sekolah, yaitu public atau private; juga arah karir anak yang ditentukan oleh orang tua, serta lokasi. Afiliasi agama juga menjadi salah satu faktor pemilihan sekolah.

Keragaman dan kesamaan ternyata mesih menjadi masalah di Indonesia kini. Jurang kaya dan miskin yang semakin lebar dan biaya sekolah yang semakin tak terjangkau semakin mengokohkan sekolah unggulan adalah sekolah orang kaya meskipun itu sekolah negeri.

LINGKUNGAN MESOSYSTEM

Sekolah mestinya tidak lepas dari konteks lingkungan sosialnya, apalagi budayanya. Sekolah tidak boleh terpisah dari lingkungan peserta didik, kesinambungan itu harus ada sehingga baik peserta diidik maupun keluarga tidak merasa asing karena kehadiran sekolah. Orang tua ikut berpartisipa dalam proses dengan menyiapkan siswa agar siap bersekolah, memberi masukan dan saran bagi sekolah. Juga orang tua bisa melihat perkembangan anaknya yang bermanfaat bukan hanya bagi peserta didik tetapi juga bagi lingkungan dan sesamanya. Seperti dalam Tri Rahyu Ki Hadjar yaitu :

  • Hamemayu Hayuning Sariro

    • pendidikan bermanfaat bukan hanya bagi siswa karena di menjadi lebih berharga bagi dirinya namun juga bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya

  • Hamemayu Hayuning Bongso

    • pendidikan bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan tanah air siswa

  • Hamemayu Hayuning Bawono

    • pendidikan bermanfaat bagui dunia

LINGKUNGAN CHRONOSYSTEM

Lingkungan sosial akan terus berubah secara dinamis seiring dengan perjalanan waktu. Adaptasi terhadap perubahan sosial itu perlu terus menerus dilakukan bila tidak ingin digilas oleh perubahan itu sendiri. Maka, berbagai perkembangan yang secara khusus berhubungan dengan pendidikan seperti teknologi, kekerasan, dan penyalahgunaan obat-obatan harus diperhatikan.

KESIMPULAN

Sebagai penutup, dua paragraf kuliah umum Obama, yang pernah tinggal di Indonesia dan mengenyam pendidikan di Indonesiasebagai, di UI layak dan pantas untuk di quote sebagai sebuah refleksi pendidikan bangsa:

But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia — that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in mosques and churches and temples standing alongside each other; that spirit that’s embodied in your people — that still lives on. Bhinneka Tunggal Ika — unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important part in the 21st century”.

These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta I once knew — technology and trade and the flow of people and goods — can translate into a better life for all Indonesians, for all human beings, a life marked by dignity and opportunity. Now, this kind of development is inseparable from the role of democracy”.

______________________

2Berhavioural genetics, http://en.wikipedia.org/wiki/Behavioural_genetics, on line Oct 29, 2010

3Nature vs Nurture in Intelligence, http://wilderdom.com/personality/L4-1IntelligenceNatureVsNurture.html , on line Oct 30 , 2010

5Robbins P Stephen & Judges A Timothy, Organizational Behavior, 12th ed., Prentice Hall 2007,

6Gordon Ann Miles, Browne Williams Kathryn, Beginning & Beyond, Foundation in Early Childhood Education, Wadsworth Publishing; 6th edition 2003.

7Wikiperdia, Sensory, http://en.wikipedia.org/wiki/Sensory, on line No 07, 2010

8Wikipedia, DNA, http://en.wikipedia.org/wiki/DNA, on line No 07, 2010

9Wuryadi, Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan dan Pengajaran, Presentasi di kalangan sendiri, Maret 2009

10Kendall D, Murray J, Linden R “Sociology In Our Times” Third Canadian Edition, 2004, Nelson Education Ltd; Hailman, W. N. “Twelve lectures on the history of pedagogy, delivered before the Cincinnati teachers’ association”, 1874, Wilson, Hinkle & Co., Cincinnati, at Chapter 1, page 12 “In its widest sense, the history of education would be the history of the development of the human race.”; Compayre, Gabriel; Payne, W. H., “History of Pedagogy (1899)”, translated by W. H. Payne, 2003, Kessinger Publishing; ISBN 0766154866; [originally published in French as “Histoire De La Pédagogie”, by Gabriel Compayré; firstSejarah sekolah published in English in 1885]; at Introduction, page ix.”What would a complete history of education not include? It would embrace, in its vast developments, the entire record of the intellectual and moral culture of mankind at all periods and in all countries.” dalam Wikipedia, History of Education, http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_education. on line Nov 07, 2010

11Ibid

12Wikipedia, Education, http://en.wikipedia.org/wiki/Education#cite_ref-0, on line Nov 07,2010

13Berns M. Roberta, Child, Family, School, Community, 6th. ed., Wadsworth 2004., pp 213

14Dewey John, My Pedagogic Creed. School of Journal vol 54, pp 77-80

15Oracle Think Quest, Elementary School in Ancient Time, http://library.thinkquest.org/J002606/AncientTimes.html on line Nov 07, 2010

16Berns M. Roberta, Child, log.cit pp 213

17Illevis Knud, The Three Dimension of Learning, Keynote at NFPF/NERA:s 29 th Congress in Stockholm, March 15-18, 2001, Roskilde University Center