Global Neoliberalism Contra

Global Neoliberalism Contra

Globalization

 

 

 

 

  1.  Joseph Eugene Stiglitz (Stiglitz, 2001).

Penerima hadiah Nobel di bidang Economics Science tahun 2001 bersama dengan George Akerlof, dan Mike Spence dengan isu Information Economics, yaitu cabang teori ilmu Microenomics yang mempelajari bagaimana informasi mempengaruhi keputusan ekonomi (Stigler, 1961). Dalam “essays in Honor of Joseph Stiglitz, The world will go on being imperfect, and it will be important to go” ditandaskan bahwa dunia sedang impercfect maka perhatian untuk mengembangkan ilmu ekonomi untuk dunia yang imperfect perlu diperhatikan, dalam hal ini pendapat Stiglitz sangat penting untuk diperhatikan oleh pasar dan pemerintah (Arnott et.al., 2003). Menurut Stiglitz dalam “Price of Inequality” pasar itu tidak efisien karena imperfect information sehingga demand tidak sama dengan supply dan membuat sebuah dunia dimana permintaan besar tidak terpenuhi karena investasi untuk si miskin keluar dari kemiskinan, untuk mempromosikan pembangunan di negara-negara yang kurang berkembang seperti di Afrika dan benua lain di dunia dialokasikan ke ekonomi global (Stiglitz, 2012).

Stiglitz bersama dengan George Akerlof, dan Mike Spence, melucuti paradigma neoklasik di berbagai bidang kehidupan mulai dari Microeconomics, Macroeconomics, teori produksi, teori pasar, pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan baik nasional maupun global dengan menggunakan fakta empirik berbagai strategi dan kebijakan pemerintah, termasuk Washington Consensus (Gore, 2000) hingga ke krisis Asia Timur, termasuk Indonesia, yang dimulai dari Thailand dimana solusi IMF bagi Indonesia dengan 117 persetujuan kebijakan itu dinilai terlalu ambisius dan tidak perlu dimana IMF tidak perlu masuk ke area tradisional yang bukan menjadi perhatian IMF sehingga Indonesia sulit untuk memenuhi dan hasil tidak seperti yang diharapkan (Sadasivan, 2002), (Maxwell, 2005).

Menurut Stiglitz, perfect market berdasar perfect information itu tidak ada, lihat pula bounded rationality Simon, apalagi secara global dengan berbagai keragaman bawaan. Sehingga, ilmu ekonomi harus memisahkan antara kemiskinan dan ketidakadilan karena asumsi unemployement tidak ada adalah sebuah kesalahan serius yang diajarkan ketika di graduate school (Stiglitz, 2001). Ada hubungan yang menjelaskan antara inflasi dengan unemployement. Divergant Paths Income per capita Sub-Saharan African dan East Asia 1970-1975 telah menjelaskan bagaimana ketidakadilan global yang mencolok itu terjadi (Stiglitz & Lyn, 1998).

Lebih lanjut, dalam bidang Pendidikan, Stiglitz mengemukakan bahwa Sistem Pendidikan secara garis besar adalah pilihan publik, bukan proses ekonomi pasar dimana negara-negara yang berbeda telah memilih bentuk pasar yang berbeda kecuali yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tipikal Pendidikan minimum bukan masalah pilihan tetapi ditetapkan oleh pemerintah dan sisi input Pendidikan yang kompetitif itu tidak ada. Pendapat Stiglitz yang terakhir ini berdasar kecenderungan umum Pendidikan namun tidak terjadi di Indonesia terutama pasca reformasi dimana anak untuk masuk ke sekolah terutama sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah, calon siswa juga harus berkompetisi untuk masuk dimana kelulusannya juga harus berkompetisi untuk lulus guna memperoleh jenjang pendidikan diatasnya yang lebih baik, apalagi dengan kemunculan program SBI dan RSBI.

Yang terakhir, contoh empirik penelitian Stiglitz adalah Amerika dimana dia menemukan wilayah-wilayah negara dengan perfect information yang tidak bekerja. Bahkan Stiglitz menyimpulkan bahwa “America can no longer regard itself as the land of opportunity that it once was. But it does not have to be this way: it is not too late for the American dream to be restored”, (Stiglitz, 2012). Contoh empirik lain di luar Amerika, menurut penelitiannya, adalah Kenya. Kata kunci adalah ketidakadilan dan ketidakwajaran. Maka, menurut Stiglitz, mungkinkah mewujudkan global equilibrium berdasar imperfect information ? Oleh karena itu, Stiglitz, dengan menggunakan model Gary Fields yang bekerja di the Institute of Development Studies, menyarankan private return to education dengan pertimbangan peningkatan peluang untuk memperoleh pekerjaan yang baik berbeda dari social return. Output pasar rumah tangga adalah input pasar perusahaan dan output pasar perusahaan adalah sekaligus input pasar rumah tangga. Maka, peningkatan peluang untuk memperoleh orang yang well educated akan semakin besar, dan itu berarti private return akan semakin besar, meskipun mungkin social return semakin mengecil. Dalam hal ini, Pendidikan memerankan fungsi pasar yang berbeda dari yang pernah terjadi di pasar tradisional dimana Pendidikan berfungsi sebagai human capital dan peningkatan produktivitas (Stiglitz, 2012).

  1. Paul Krugman (Krugman, 2008).

Penerima hadiah Nobel di bidang Economics Science tahun 2008 dengan isu International Trade and Economic Geography, membahas tiga pertanyaan pokok yaitu:

  • Bagaimana manusia dipengaruhi oleh globalisasi

  • Apa dampak dari free trade atau perdagangan bebas

  • Mengapa jumlah orang yang hijrah ke kota besar semakin meningkat, sedang di daerah rural semakin berkurang ?

Krugman menjawab dengan mengajukan teori-teori ekonomi geografi serta menjelaskan mengapa modal dan tenaga kerja ditempatkan disuatu lokasi. Teori Krugmann tidak lepas dari core-periphery model yang menjelaskan pilihan biaya variabel dan biaya tetap dalam pemilihan lokasi dan berdasar economics principles (Mankiw, 2009) mengenai marjin dalam keputusan.

Maka, perbedaan endowment point antar negaraakan memunculkan perdagangan karena masing-masing negara akan memperoleh increasing return to scale (McCloskey, 1982). Ini akan menjadi daya tarik tenaga kerja sehingga akan terjadi kondisi dimana ada daerah padat penduduk dan ada daerah kekurangan penduduk. Kondisi ini akan memunculkan rentetan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Krugman, secara empirik, memberi contoh wilayah-wilayah di Amerika dan China yang memberi gambaran perpindahan manusia sesuai dengan teori yang dia bangun.

Di Indonesia juga terjadi dengan penumpukan penduduk di Jawa, dan Jakarta. Maka, dalam globalisasi hal itu juga akan terjadi dimana comparative advantage di bidang tenaga kerja akan menjadi sumber efisiensi bagi perusahaan transnasional untuk berkompetisi dengan cara memproduksi di negara dimana sumber produksi murah.

Economic Geography Krugman tidak hanya berkaitan dengan barang apa diproduksi dimana, tetapi juga distribusi modal dan tenaga kerja di seluruh wilayah dan negara. Hal ini akan memunculkan fenomena konsentrasi di wilayah-wilayah tertentu sehingga memunculkan masalah ketidakadilan dan kesenjangan distribusi kekayaan. Fakta empirik menunjukkan bahwa banyak sekali produk-produk transnasional atau international brand diproduksi di wilayah lain yang mempunyai keunggulan komparatif di bidang biaya. Misal, Levis, Nike, Adidas, Nokia, Nikon, Sony, dll. Kemudian, produk-produk tersebut di jual di pasar berbeda. Apple dan Nokia sebagai contoh, tidak mungkin bisa masuk ke Indonesia kalau diproduksi langsung di negaranya, karena harganya tidak akan kompetitif di pasar Indonesia.

  1. Amartya Sen (Sen, 1998).

Penerima hadiah Nobel di bidang Economics Science tahun 1998 ini mengemukakan Social Choice Theory, yaitu sebuah studi mengenai decision problems yang mempelajari metoda-metoda alternatif disain dan analisis untuk pembuatan keputusan secara kolektif, yang mengukur kepentingan-kepentingan individu, sistem nilai, dan kesejahteraan sebagai sebuah agregasi untuk keputusan kolektif dengan mengkobinasi unsur-unsur welfare economics, voting theory, dan methodologically individualistic serta menempatkan individu sebagai bagian dari masyarakat, dimana kelompok harus membuat keputusan secara demokratis.

Menurut Sen, tantangan dan ketertarikan berbeda untuk keputusan sosial sudah ada sejak jaman Aristoteles di Greek-Athens, dan Kautilya nenek moyang India, yang hidup ratusan tahun sebelum masehi. Inti dari pemikiran Sen adalah bagaimana keputusan kolektif sosial memperbaiki kondisi sosial dan masa depan mereka. Apapun pilihan seluruh kelompok akan mencerminkan kehendak individual, sesuai dengan Central limit theorem. Maka, freedom, social choice, dan human capability menjadi isu utama pemikiran Sen.

Development as freedom

Dua tahun kemudian yaitu tahun 2000, Sen menulis buku Development As Freedom (Sen 2000), Buku ini memusatkan perhatian pada kebebasan manusia yang bertentangan dengan pandangan sempit pembangunan, seperti identifikasi pembangunan melalui pertumbuhan GNP, atau melalui kenaikan personal income, atau industrialisasi, atau technological advance, atau modernisasi sosial. Indikator-indikator itu penting tentu saja, namun itu lebih penting sebagai sarana untuk memperluas kebebasan yang dinikmati oleh anggota-anggota masyarakat.

Di sisi yang lain, kebebasan juga tergantung kepada determinan-determinan lain seperti tatanan sosial dan ekonomi dalam wujud fasilitas untuk pendidikan dan kesehatan. Juga hak-hak politik warga negara dalam bentuk kemerdekaan untuk berpartisipasi dalam diskusi publik dan penentuan pendapat. Maka, pembangunan menghendaki penghilangan sumber-sumber utama ketidakbebasan seperti kemiskinan, tirani, kesulitan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi, penghilangan secara sistematik hak-hak masyarakat, pengabaian fasilitas publik, dan kekuasaan represif. De­ngan kata lain, ketidakbebasan terkait erat dengan kesenjangan fasilitas pelayanan sosial seperti sistem kesehatan yang baik, fasilitas pendidikan, dan lembaga yang efektif menjaga keamanan dan ketertiban.

Dengan demikian, pelanggaran kebebasan secara langsung tidak lain adalah penolakan kemerdekaan publik dan politik serta pembatasan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat oleh rejim yang otoriter (Sen, 2000 ).

Kebebasan, menurut Sen, adalah pusat dari proses pembangunan untuk dua alasan berbeda, yaitu (1) Alasan evaluatif, untuk melihat realita; (2) Alasan efektif, untuk melihat sejauh mana tujuan dicapai. Artinya, pandangan ini menempatkan peranan konstruktif dari manusia sebagai agen perubahan. Maka, untuk meningkatkan general capability setiap orang, lima kebebasan harus dibedakan dan dilihat dari perspektif instrumental sebagai hak dan peluang, yaitu 1. Political freedoms, 2. Economic facilities, 3. Social opportunity, 4. Transparancy guarantees, dan 5. Protective security.

Di sisi yang lain, kebebasan substantif, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan hidup, juga memainkan peranan krusial dalam penentuan kondisi kehidupan dan kualitas kehidupan. Hubungan yang bersifat alami tersebut mudah dipahami.

Oleh karena itu, Sen menekankan bahwa kebebasan bukan hanya sarana prinsip bagi pembangunan untuk meninggikan human well being, namun juga dari perspektif konstitusi terkait dengan kebebasan substantif yang sangat penting, yaitu kapabilitas elementer, untuk meninggikan human well being sehingga konsepsi pembangunan yang memadai untuk memperbesar kemerdekaan manusia harus berada jauh diatas indikator kesehatan dan pertumbuhan GNP atau variabel pendapatan lain yang terkait (Sen, 2000).

Selanjutnya menurut Sen, human well being menyangkut pula diversities dan heterogeneities, dimana pendapatan dan komoditas sebagai kebutuhan dasar untuk kesejahteraan; namun demikian, keduanya tidak lepas dari kondisi personal dan sosial seseorang untuk mewujudkan harkat dan martabatnya. Maka, akan muncul sumber-sumber variasi antara pendapatan riil dengan kesejahteraan dan kebebasan, yaitu (1) heterogentias personal, (2) diversitas lingkungan, (3) variasi iklim sosial, (4) perbedaan dalam perspektif relasional, (5) distribusi dalam keluarga. Sumber-sumber perbedaan ini menandai kesejahteraan dan kualitas kehidupan (Sen, 2000). Masalah milik berkaitan dengan kelaparan dan kemiskinan, pemerintah memainkan peranan sangat penting dalam hal ini, maka sistem keamanan sosial di welfare state ingin diwujudkan.

Oleh karena itu, freedom efficiency pada mekanisme pasar dan masalah serius ketidakadilan-kebebasan harus dipertimbangkan secara simultan. Dalam konteks ini intevensi sosial termasuk dukungan pemerintah memegang peranan sangatSocial capital adalah modal bangsa yang digerakkan oleh kesamaan semangat, pandangan, harapan, dan cita-cita. Maka, pendidikan sebagai sebuah investasi tak berwujud berperan sejak anak masih kecil untuk menanamkan berbagai kesamaan tersebut agar menjadi sebuah kekuatan yang potensial untuk membangun bangsa dan negara seperti telah digariskan dalam konstitusi untuk membuat 237 juta penduduk Indonesia itu menjadi modal, bukan beban bangsa. Dalam arti yang lebih luas, di sebuah negara kesejahteraan, berbagai macam program sosial didisain untuk mewujudkan social security system (Sen, 2000).

Liberal paradox menunjukkan mengapa dan bagaimana social choice dapat melampui batas-batas international. Pertama, The imposibility of Paretian Liberal, teorema ini menunjukkan bagaimana tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan minimal kemerdekaan apabila dihadapkan pada Pereto efisiensi (Sen, 2000). Kemerdekaan memliki beberapa aspek yang berbeda: (1) Kemerdekaan akan menolong manusia untuk mewujudkan apa yang menjadi pilihan untuk diwujudkan pada domain perspektif privat–opportunity aspect. (2) Kemerdekaan secara langsung memberi keleluasaan yang bersifat pribadi untuk menggunakan atau tidak – process aspect. Dalam Social Choice theory, formulasi kemerdekaan paling dasar lebih mengenai opportunity aspect. Hal ini juga menunjukkan kemungkinan potensi konflik antara Pareto principle dengan opportunity aspect kemerdekaan (Sen, 2000).

Kapabilitas menurut Sen adalah kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan atau kegiatan yang berarti, atau untuk mewujudkan harkat dan martabat kemanusiaan yang berkaitan dengan kemampuan dirinya untuk memfungsikan berbagai kombinasi kemungkinan yang bisa dilihat dan diwujudkan. Kapabilitas, dengan demikian, adalah jenis kebebasan substantif untuk memilih. Pendekatan kapabilitas menantang evaluasi, kebijakan, dan tindakan yang telah dilakukan untuk human well-being dalam kesejahteraan menurut ilmu ekonomi dan filosofi politik mengenai komoditas standard kehidupan dan keadilan sebagai sebuah kewajaran. Hal ini akan berseberangan dengan gagasan untuk memutuskan apa yang wajar dan adil dalam distribusi sumber-sumber.

The idea of justice (Sen, 2009 )

Sen memandang bahwa sebuah teori keadilan, agar dapat berfungsi sebagai dasar alasan praktis, harus memasukkan cara-cara menilai bagaimana mengurangi ketidakadilan dan memperluas keadilan.

Menurut Sen, ada disonansi radikal antara ‘Westerm’ dan ‘Eastern’ atau ‘Non-Western’ mengenai keadilan yang bertautan dengan kebebasan sehingga menjadi aneh untuk berpikir sebuah norma Barat berhadapan dengan prioritas-prioritas ketimuran yang sangat mendasar.

Yang dimaksud dengan kebebasan disini menyangkut kebebasan untuk memutuskan dan bertindak, serta peluang aktual yang dimiliki orang berdasar kondisi-kondisi sosial dan personal. Sedang ketidakbebasan dapat muncul melalui proses yang tidak memadai, seperti pelanggaran pemilihan umum atau hak-hak sipil atau politik yang lain. Atau juga, melalui peluang yang tidak memadai dimana beberapa orang memiliki atau mencapai secara minimal apa yang mungkin dicapai.

Penalaran publik, demokrasi, dan keadilan global

Dalam gagasan Sen mengenai keadilan, prinsip-prinsip keadilan tidak akan didefinisikan dalam konteks kelembagaan, tetapi dalam konteks kehidupan dan kebebasan orang yang terlibat. Lembaga-lembaga keadilan tidak dapat terlibat kecuali memainkan peranan instrumental yang signifikan dalam mewujudkan keadilan. Bersama dengan determinan-determinan perilaku individu dan sosial, pilihan kelembagaan yang tepat memiliki tempat penting yang menentukan dalam mengusahakan dan meningkatkan keadilan. Kelembagaan memainkan perhitungan dengan berbagai cara. Mereka dapat berkontribusi langsung kepada kehidupan orang yang mampu memimpin sesuai dengan alasan nilai mereka. Kelembagaan juga bisa menjadi penting untuk memfasilitasi kemampuan masyarakat untuk memurnikan nilai dan prioritas-prioritas yang dapat dipertimbangkan seperti peluang untuk diskusi publik yang dijamin oleh undang-undang.

  1. John Rawls (Rawls, 1999).

Pemikiran Rawls mengenai Theory of People dimulai sejak 1980. Kegelisahan Rawls berawal dari makna kedaulatan sebuah bangsa yang dia rasakan tidak sesuai lagi. Rawls memimpikan masyarakat yang mapan dan teratur. Menurut Rawls, “people” tergambarkan berbeda dari “nations” maka dia menggunakan kosa kata “people” dan bukan “nations” meskipun pemikirannya mengenai bangsa yang bermartabat dan hubungan berbangsa yang bermartabat dimana masyarakat dunia yang akan datang diharapkan percaya pada kehadiran demokrasi konstitusional sebagai bagian dari reasonably just Society of Peoples atau masyarakat manusia bermartabat yang berkeadilan. Maka, Rawls membedakan antara masyarakat domestik dan masyarakat global. Fenomena yang terjadi pada masyarakat domestik itu digambarkan terjadi pula dalam masyarakat global.

Sebenarnya, pemikiran Rawls merupakan gabungan antara masyarakat liberal dan non liberal yang secara bersama membentuk masyarakat yang mapan, tertib dan teratur (Beitz 2000) dan mengutamakan human right, freedom, dan democracy dan disebut sebagai decent hierarchical society dan memiliki dua kriteria yaitu:

  1. Masyarakat tidak memiliki tujuan-tujuan agresif dan selalu mewujudkan tujuan akhir melalui diplomasi dan perdagangan dengan cara damai.

  2. Kriteria ke dua terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  1. Masyarakat yang bermartabat dalam tatanan sosial dan hukum sesuai dengan gagasan umum mengenai keadilan. Tatanan sosial yang melanggar hak-hak mendasar ini tidak dapat dimasukkan dalam tatanan sosial yang pantas dalam kerja sama sosial dan politik. Masyarakat yang diperbudak jauh dari tatanan hukum yang memadai, juga perbudakan ekonomi yang didorong oleh tekanan hegemoni kekuatan. Hal ini, jelas jauh dari gambaran kerja sama sosial.

  2. Human right tidak bisa ditolak sebagai liberal atau secara khusus ke tradisi barat. Diantara human right tersebut adalah hak untuk hidup, bertahan hidup, dan keamanan, serta terdiri dari:

  3. Kemerdekaan, yaitu bebas dari perbudakan, penghambaan, tekanan, ancaman, ketakutan, pendudukan paksa, dan kemerdekaan yang menjamin hati nurani untuk bebas berpikir dan beragama.

  1. Kepemilikan, termasuk kepemilikan personal, dan kesetaraan formal yang dinyatakan dalam aturan-aturan dan keadilan sosial. Sebuah tatanan hukum masyarakat yang bermartabat harus menekankan tugas dan tangungjawab moral, yang dipisahkan dari human rights, pada setiap orang dalam wilayah masyarakat tersebut. Karena anggota masyarakat dipandang bermartabat dan rasional serta bertanggungjawab dan memainkan peran sebagai bagian dari anggota masyarakat, maka mereka mengakui tugas dan tanggungjawab tersebut sesuai dengan gagasan umum yang baik tentang keadilan dan tidak melihat itu sebagai tekanan dari kekuatan atau kekuasaan. Mereka, dengan demikian, memiliki kapasitas belajar moral dan tahu perbedaan antara baik dan buruk seperti dipahami oleh masyarakat. Ini tentu saja berseberangan dengan penjajahan ekonomi dimana tatanan hukum mengatur bagaimana kerjasama sosial dan politik hendaknya dilakukan. Inilah sebenarnya kritik Rawls terhadap paham paham liberal dalam Theory of People karena Rawls tidak mengkultuskan individu seperti di paham liberal, namun setiap orang bertanggungjawab sebagai anggota masyarakat secara kooperatif dalam kelompok masyarakakat mereka. Kelihatannya liberal namun sepenuhnya tidak liberal, justru dari pijakan ini Rawls menggugat paham kapitalisme dan kompetisi dalam masyarakat liberal. Disini, jelas bahwa manusia sebagai makhluk individu yang merdeka namun juga sebagai makhluk sosial yang terikat dengan lingkungan sosialnya.

  2. Human rights, dengan demikian dapat dipahami sehingga tidak dapat ditolak karena dipandang khas liberal atau merupakan tradisi barat. Beberapa mungkin berpikir bahwa human rights secara kasar sama dengan hak penduduk di rezim demokratik konstitusional. Pandangan ini bukan hanya menyesatkan namun juga memperluas human rights untuk memasukkan semua hak yang dijamin oleh pemerintahan liberal. Human right dalam The Law of People sebaliknya, yaitu hak hakiki seperti kebebasan dari perbudakan, penghambaan, dan ancaman serta kemerdekaan hati nurani dan keamanan kelompok etnis dari pembunuhan masal dan genosida. Pelanggaran terhadap hak yang hakiki ini dikutuk oleh jenis masyarakat beradab manapun. Dalam The Law of People, human rights adalah hak yang memainkan peran khusus dalam masyarakat, yaitu membatasi dan menilai alasan-alasan perang serta perilakunya serta memberi batasan terhadap otonomi rezim internasional. Human rights dibedakan dari constitutional rights maupun dari hak-hak masyarakat demokratik liberal ataupun dari hak-hak ikut dalam lembaga politik tertentu. Human rights menetapkan kebutuhan standard tata krama atau kesantunan lembaga-lembaga politik domestik. Dengan demikian, mereka hanya membatasi hukum domestik dalam tatanan berkeadilan dan baik yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, human rights dalam The Law of People Theory memiliki tiga peran:

    1. Pemenuhan human rights merupakan kondisi yang diperlukan oleh sebuah masyarakat dan institusi-institusi hukum dan politik yang tertib dan patuh hukum.

    2. Pemenuhan human rights merupakan kondisi yang mencukupi untuk membenarkan intervensi oleh kekuatan lain atau oleh orang lain misal dengan penggunaan sangsi diplomatik dan ekonomi, atau dalam kasus-kasus serius melalui kekuatan militer.

    3. Pemenuhan human rights akan menetapkan bata-batas pluralisme masyarakat.

  • Harus ada keinginan tulus pada penegak keadilan dan pejabat yang mengatur dan menata tatanan hukum agar hukum sungguh-sungguh dibimbing oleh gagasan keadilan umum yang baik. Akan menjadi tidak masuk akal bila para penegak keadilan dan pejabat yang berwenang berpikir bahwa gagasan-gagasan yang baik mengenai keadilan dan berkaitan dengan human right semua anggota masyarakat dibiarkan untuk dilanggar. Harus ada keyakinan tulus dan itikad baik dan kesediaan untuk membela masyarakat pada diri para penegak keadilan dan penjabat, seperti digariskan oleh hukum dan undang-undang.

Dalam setiap masyarakat, peranan sejarah mempengaruhi perbedaan budaya, tradisi, cara berpikir, baik yang beragama maupun yang tidak beragama. Bahkan untuk kondisi masyarakat liberal seperti Amerika yang sangat mengkultuskan individu. Maka, meskipun beraneka asal budaya itu telah menjadi melting pot, namun fakta pluralisme itu tetap ada, apalagi negara-negara dengan penuh keragaman seperti Indonesia yang digambarkan sebagai salad bowl. Oleh karena itu, hukum masyarakat yang menampung keragaman tersebut harus didisain dan adil bagi semua dan efektif untuk membangun kerjasama yang lebih besar.

Karena fakta pluralisme, maka demokrasi konstitusional harus memiliki lembaga-lembaga politik dan sosial yang secara efektif akan menjaga rasa keadilan yang tepat saat mereka tumbuh dewasa dan mengambil bagian dalam masyarakat. Mereka kemudian akan memahami prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan ideal mengenai konsepsi politik untuk menginterpretasi dan menerapkan ke kasus-kasus yang mereka hadapi dan secara normal mereka akan bereaksi seperti tuntutan keadaan. Dalam hal ini, stabilitas dibutuhkan untuk alasan yang bisa dibenarkan bila stabilitas sosial merupakan cara hidup.

Pedoman untuk kebijakan luar negeri

Berangkat dari kesetaraan diantara manusia dalam teori ini, kesetaraan adalah adil, dan itu sebuah kebaikan dengan sendirinya. Di sisi yang lain, teori ini juga mengakui bahwa ketidaksetaraan tidak selalu tidak adil karena ketidakadilan tersebut berpengaruh terhadap struktur dasar kelompok masyarakat dan diantara masyarakat dan anggotanya. Hal penting dalam struktur dasar ini adalah semangat toleransi dalam masyarakat mapan non liberal.

Menurut Rawls, ada tiga alasan untuk memperhatikan ketidaksetaraan di masyarakat domestik dan untuk mempertimbangkan masing-masing diterapkan pada pergaulan masyarakat. Alasan pertama adalah bahwa pengurangan ketidaksetaraan dalam masyarakat domestik berarti meringankan penderitaan dan kesulitan orang miskin, bukan berarti harus ada kesamaan dalam hal kekayaan. Alasan kedua untuk mempersempit jurang kesenjangan antara miskin dan kaya adalah karena kesenjangan itu menimbulkan stigma dan anggapan sebagai inferior, dan itu dipandang tidak adil. Alasan ke tiga untuk mempertimbangkan ketidaksetaraan diantara perhatian publik, mengingat kesenjangan diantara masyarakat menyangkut peran penting keadilan dalam proses politik pada struktur dasar masyarakat. Dalam kasus domestik kekhawatiran ini tampak jelas untuk mengamankan keadilan dan kejujuran pemilu dan peluang politik untuk mencalonkan diri pada jabatan publik. Pembiayaan publik partai politik dan kampanye mencoba untuk mengatasi masalah ini. Maka, setiap warga negara tanpa memandang kelas sosial atau asal harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi sosial yang disukai, mengingat bakat yang sama serta kemauan yang sama untuk mencoba. Oleh karena itu, untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kebijakan untuk memberi ruang yang adil bagi semua melalui pendidikan dengan menghilangkan segala diskriminasi yang tidak adil dan diperlukan kehadiran Negarawan yang ideal, seperti individu yang berbudi luhur. Negarawan adalah presiden atau perdana menteri atau penjabat tinggi yang melalui keteladanan di lembaga mereka dengan menunjukkan keberanian, kekuatan, dan kebajikan mereka. Mereka membimbing masyarakat dalam masa bergolak dan berbahaya.

Hukum masyarakat yang wajar adalah masyarakat membimbing masyarakat agar tertata baik dalam menghadapi rezim jahat dengan mengarahkan mereka bagaimana cara menghadapinya. Pertahanan mereka, bagaimanapun juga, adalah tugas paling penting dan mendesak. Dalam jangka panjang, pada akhirnya adalah membawa seluruh masyarakat untuk menghargai The Law of People dan menjadi pendukung sepenuhnya masyarakat dunia yang tertata tertib dan bermartabat. Human rights kemudian akan menjadi terlindungi dimana-mana. Bagaimana membawa semua masyarakat ke tujuan ini adalah pertanyaan untuk kebijakan luar negeri dan merupakan kebajikan politik yang keberhasilannya tergantung kepada keberuntungan.

Leave a Reply