Critical Education Vs Global Neoliberalism

  1. Paula Almann (1944-2011) (Allman, 2010).

Paula Allman dikenal sebagai pendidik radikal dan sekaligus juga aktifis politik di bidang pendidikan serta aktif dalam gerakan-gerakan sosial seperti hak-hak warga negara dan anti perang. Terakhir karirnya sebelum meninggal pada 2 November 2011 adalah di University of Nottingham, England. Karya-karyanya menjelaskan keprihatianannya terhadap bidang yang digelutinya dan tentu saja dasar ideologinya, seperti Revolutionary Social Transformation: Democratic Hopes, Political Possibilities and Critical Education (1999), Critical Education against Global Capitalism, Gramsci, Freire and Illich: Their Contributions to Education for Socialism”, Paulo Freire’s Contributions to Radical Adult Education. Studies in the Education of Adults. Maka Pendidikan dan Politik mewarnai mimpi dan pemikirannya tentang bagaimana mewujudkan kehidupan yang lebih baik

Allman berpendapat bahwa Kemanusiaan telah memasuki milinium tahap ke tiga dalam dunia pembagian sosial yang semakin meningkat dalam bidang ketidakadilan dan penindasan, dengan lingkungan yang mengalami degradasi. Setiap hari manusia dibombardir oleh gambaran media mengenai kapitalisme yang merusak. Dalam hitungan menit manusia dihadapkan pada gambaran kelaparan, kemiskinan, daerah urban kumuh, dan pada saat yang sama gemerlap kekayaan ada disekitar dan menjadi tontotanan. Tesis Allman yang akan selalu dikenang adalah bahwa kapitalisme akan selalu melemahkan harapan-harapan demokratik bila harapan tersebut terjadi untuk memasukkan asprirasi-aspirasi yang secara alami, esensial kontra kapitalisme.

Dalam hal ini, demokrasi yang non-diskriminatif untuk mendukung keragaman nilai-nilai kemanusiaan seperti diungkap dalam pasar bebas adalah sebuah penipuan. Maka, Allman menyarankan agar kita tidak kehilangan konsepsi-konsepsi mengenai demokrasi dan kemanusiaan dimana pendidikan kritis secara revolusioner diperlukan untuk menginformasikan dan membentuk sebuah gerakan sosial yang menantang. Transformasi sosial secara revolusioner menjelaskan komitmen budaya praktis sebagai sebuah alternatif yang tersedia untuk realitas sosial saat ini dan tetap memungkinkan untuk mengawalisecara otentik hubungan manusiawi antar pribadi yang segera bisa direalisasikan.

Selanjutnya Allman menegaskan bahwa Pendidikan memiliki peran sebagai sumbu untuk memainkan peran dalam penyiapan masyarakat untuk melawan ketidakadilan sistem ekonomi yang semakin mendominasi kehidupan dan merampas kemanusiaan secara tidak manusiawi. Di samping itu,Pendidikan kritis juga memiliki peran yang sama penting untuk melepaskan potensi kritis dan kreatif yang berada di dalam diri peserta didik sehingga mereka dapat menjadi pencipta dan pencipta ulang kondisi kolektif tentang eksistensi manusia dan dengan demikian manusia mampu mengembangkan diri sendiri dan orang lain sehingga kemanusiaan dimaknai secara mendalam dan positif.

  1. Peter Mclaren

Mc Laren berpendapat bahwa martabat dan kesucian hidup manusia adalah pusat kehidupan sosial. Dalam perkembangan demokrasi di Amerika, dan tanpa disadari oleh banyak orang di Amerika, tujuan demokrasi itu telah digerogoti oleh hubungan kontradiktif yang salah alamat terhadap kebebasan manusia, keadilan sosial, toleransi, dan penghargaan terhadap sesama (McLaren, 1995).

Demokrasi telah membawa berbagai perubahan melalui identitas nasional baru terutama melalui mas media. Berbagai tawaran mengenai harapan masyarakat ditawarkan dan secara kultural para pembeli berpadu dengan komoditasnya dan sementara itu lembaga kemanusiaan diserap kedalam etika sosial hukum pasar. Ini berakibat pada perataan simpul-simpul sosial untuk kesetaraan, kebebasan, dan keadilan sosial hingga mereka menjadi kaku jiwa karena apa yang dulu dikenal sebagai jiwa telah tercuri.

Maka, tanpa disadari, masyarakat hidup dalam kubangan predatory culture yaitu budaya dimana korban dan pemangsa tidak tampak, meskipun itu sangat jelas. Predator itu membuat imun korban untuk melawan kekuatan yang akan mengancamnya dengan cara menawarkan kehidupan yang menyenangkan dan memanipulasi kesadaran dengan menyamarkan perbedaan antara realita dan ilusi. Maka, pemangsa budaya itu adalah penipu ulung dengan tujuan menguasai jiwa korban. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu untuk memberikan penawar agar peserta didik menjadi imun terhadap pemangsa budaya.

Ketika bangsa Indonesia telah mengalami apa yang dikemukakan oleh McLaren, artinya juga berada ditengah kubangan predatory culture seperti telah terpotret dalam sembilan fenomena nasional serta diungkap oleh tokoh-tokoh seperti Habibie, Daoed Joesoef, A.H.R. Tilaar, dan Winarno Soerakhmad, maka para pendidik tentu membutuhkan kontemplasi besar untuk menjawab pertanyaan tersebut apalagi untuk berubah menjadi pendidik kritis.

Selanjutnya, McLaren berpendapat bahwa globalisasi adalah bagian dari gambaran postmodern. Globalisasi itu telah menyapu sendi-sendi kehidupan kultural pada negera yang sedang berkembang sehingga modernisasi dimaknai sebagai westernisasi. Kekuatan moral yang terkait secara khusus dengan budaya masa lalu tidak cukup mampu untuk menahan serbuan pemangsa budaya tersebut. Maka, dibutuhkan sebuah rekonstruksi teori itu sendiri agar para individu dapat membuat sebuah dampak besar kepada dunia sebagai agen-agen sejarah.

Namun demikian, tantangan pedagogi kritis adalah sesuatu yang menakutkan saat terjadi amnesia sejarah ketika publik atau pendidik telah digantikan oleh para penembak budaya dan para urbanis; ketika identitas counter-hegemonic digantikan oleh domesticated aesthetic productions; ketika visi mengenai bagaimana pendidikan hendaknya terlihat seperti semangat hura-hura; ketika peluang belajar menjadi boot camping para kriminal muda; ketika pendidikan sedang ditransformasi hanya sebagai komoditas penggemar gaya hidup; ketika subsektor ekonomi bermunculan dan didisain untuk melayani wirausaha promosi dan perikanan, maka masa depan terlihat kosong.

Yang terakhir McLaren berpendapat bahwa gerakan oposisi sosial untuk melawan kini tinggal menjadi saksi ketidakmampuan publik dan suara kolektif mereka karena kapasitas mereka untuk melawan dalam sebuah counterhegemonic war secara cepat telah dilumpuhkan. Maka, harapan kini tinggal kepada front akademik untuk membawa perubahan melalui penyadaran para siswa mengenai masalah-masalah yang akan mereka hadapi (McLaren, 1995). 

Leave a Reply